REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Ramadhan merupakan bulan yang begitu dimuliakan Allah SWT. Pada bulan ini, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berpuasa. Pakar tafsir Alquran yang juga Pengasuh Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Alquran- PSQ Jakarta, KH. Syahrullah Iskandar, mengatakan dalam Alquran ada dua term yang digunakan untuk menyebut puasa, yaitu shaum dan shiyam.
Kata shaum hanya tersebut sekali dalam Alquran yaitu pada surat Maryam ayat 26. Perintah khusus berpuasa dalam konteks Maryam pada ayat tersebut tidak diperintahkan dalam Islam, karena hanya diminta untuk diam tanpa bicara, sementara puasa tidak menghalangi seseorang untuk menjalin silaturahmi dengan orang lain. Kiai Syahrullah mengatakan dalam syariat Islam, justru perintah berpuasa menggunakan kata shiyam. Kata shiyam tersebut tujuh kali dalam Alquran. Di antaranya pada surat Al Baqarah ayat 183. Pada ayat ini menurut kiai Syahrullah puasa yang dimaksud mencakup puasa wajib seperti Ramadhan, kifarat, nazar maupun puasa sunnah lainnya.
Abu al Hasan Ali Nadvi dalam kitab al Arkan al Arba’ah menguraikan bahwa perintah puasa mengandung latihan dan pendidikan, perbaikan dan penyucian, dan menjadi wadah penempaan moral (madrasah khuluqiyah). Dengan berpuasa, seseorang akan menghindari hal yang dilarang dan merusak keutamaan puasa. Al Jurjani dalam kitab al Ta’rifat memaknainya secara etimologisnya sebagai menahan (imsak), sedangkan makna terminologisnya, yaitu menahan dalam bentuk khusus, yaitu dari makan, minum, bersetubuh, dari subuh hari hingga magrib yang disertai niat.
"Redaksi definisi puasa ini banyak ragamnya dalam referensi fikih yang muktabar, meski substansinya sama, yaitu upaya menahan dari yang dapat merusak puasa dan hadirnya niat di dalamnya. Kedua komponen inilah yang menjadi rukun puasa. Puasa adalah rukun keempat dari rukun Islam yang mulai diwajibkan pada pada tahun kedua Hijriah. Dengan begitu, Rasulullah SAW berpuasa Ramadhan selama sembilan kali dalam hidupnya," kata kiai Syahrullah kepada Republika belum lama ini.
Kiai Syahrullah menjelaskan terkait term Ramadhan, nama bulan itu telah dikenal sejak dahulu yang biasanya bertepatan dengan cuaca yang panas. Ibnu Manzhur memaknainya dari kata ramadh karena seorang yang berpuasa berpengaruh pada hawa kerongkongannya dikarenakan dahaga.
Namun demikian pertanyaan yang sering mengemuka adalah mengapa kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Apa relasi keduanya? Ramadhan adalah bulan turunnya Alquran yang menjadi hidayah penerang dalam hidup manusia. Berpuasa di setiap hari di bulan Ramadhan adalah penghormatan terhadap turunnya kitab suci samawi terakhir tersebut. Bulan Ramadhan ini menghimpun aneka kebaikan dan berkah yang akan menghiasi hidup manusia, tidak hanya di bulan Ramadhan, tetapi berbulan-bulan setelahnya.
Kiai Syahrullah yang juga menjabat sebagai Wakil Sekjen Pengurus Besar Darud Da’wah wal Irsyad (PB-DDI) mengatakan berpuasa baru diwajibkan setelah hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah karena penanaman keyakinan (credo) di periode Makkiyah telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Mungkin inilah korelasinya dengan dimulainya ayat 183 surat. alBaqarah dengan kalimat ya ayyuhalladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman). Menurut kiai Syahrullah seorang yang beriman akan senang hati menerima dan melaksanakan pembebanan (taklif) dari Allah SWT meski mengandung kesukaran.
Al Sya’rawi menyebut penerimaan seperti ini sebagai kontrak keimanan (al-ta’aqud al-imani). Atas dasar itulah, orang beriman menjadi subjek pelaksanaan perintah puasa, karena akan terasa berat bagi orang yang tidak beriman untuk menerima dan melaksanakannya. Pelaksanaan puasa bagi seseorang akan meningkatkan derajat ketakwaan (la’allakum tattaqun).
Ia mengatakan puasa menyiapkan diri meraih ketakwaan, karena berpuasa membatasi dan mengendalikan syahwat. Puasa menghindarkan dari sifat buruk karena upaya menahan (imsak) meliputi dimensi jasad dan rohani. Itulah korelasinya dengan hadits puasa itu perisai (as-shiyam junnah).
Lebih lanjut kiai Syahrullah mengatakan huruf alif-lam pada kata al-shiyam di suray. al-Baqarah 183 adalah lil ‘ahdi al.dzihni (sesuatu yang telah dikenali sebelumnya). Dengan begitu, ibadah puasa telah ada dan dilaksanakan oleh umat-umat terdahulu.
Berpuasa sebagai rukun ibadah (rukn ta’abbudi) memang telah ada di agama-agama sebelum Islam. Ada yang berpuasa dari semua jenis makanan, ada juga yang hanya berpuasa dari jenis makanan tertentu. Jumlah hari berpuasanya juga berbeda. Salah satu buktinya adalah bahwa jauh sebelum Islam, tepatnya setiap hari Asyura (10 Muharram) kalangan Arab dan masyarakat jahiliah berpuasa.
Ini juga menjadi dalil bahwa nama-nama bulan dalam penanggalan hijriyah juga telah dikenal sebelum masa Nabi Muhammad SAW. Redaksi kama kutiba ‘alalladzina min qablikum turut menguatkan kewajiban berpuasa bagi umat-umat terdahulu. Hanya saja, tata cara dan jangka waktu pelaksanaan berbeda dengan puasa yang diperintahkan umat Islam.
Mahmud Syaltut menyatakan bahwa berpuasa merupakan kebutuhan fitrah yang sangat dibutuhkan oleh manusia sedari dulu. Selain berpuasa sebagai sebuah metode untuk mendidik manusia (manhaj li-tarbiyah insan fi al-adyan), ia juga mengandung nilai solidaritas sosial (tadhamuniyah). Dengan puasa, manusia terlatih mengendalikan nafsu hayawaniyah (kebinatangan), sehingga manusia semakin menonjolkan dimensi malakiyah dalam kata dan perbuatannya.
Berpuasa juga melatih kesabaran yang merupakan pangkal kebaikan. Berpuasa berimplikasi juga pada rasa tenggang rasa, yang berpunya juga bisa merasakan kehidupan yang tidak berpunya, dan aneka kegiatan sosial di sekitar puasa yang memupuk solidaritas sosial.
Junaid al Baghdadi menyebut puasa merupakan setengah dari metode tasawuf. Bahkan, al-Hujwiri menyebut puasa mencakup semua metode tasawuf, karena hakikat puasa adalah kezuhudan.
Al Qurthubi menjelaskan bahwa berpuasa itu punya keistimewaan dibandingkan ibadah lainnya dalam dua hal. Pertama, puasa menghalangi merajalelanya nafsu dan syahwat mengendalikan diri seseorang. Kedua, berpuasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah SWT. Yang tahu persis tentang ibadah puasa yang dilakukan seseorang hanya Allah SWT dan orang yang berpuasa itu sendiri. Berpuasa adalah ibadah yang sifatnya ruhaniyah. Ini selaras dengan hadits qudsi, “Berpuasa itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan ganjaran untuknya” (as-shaum li wa Ana ajzi bih).
Berpuasa tidak mungkin dihinggapi penyakit riya’ karena tidak tampak dari tampilan seseorang, sedangkan ibadah lainnya yang dapat saja dirasuki penyakit riya’. Andaikan ada seseorang yang memproklamirkan dirinya, “Saya berpuasa” dengan maksud pamer, maka hakikatnya dia tidak berpuasa.
Berpuasa bukanlah penghalang seseorang beraktivitas. Tidak perlu meliburkan diri dari rutinitas keseharian hanya karena berpuasa. Sejarah membuktikan, terdapat beberapa peristiwa penting di masa Rasulullah SAW yang menguras fisik dan pikiran yang terjadi di bulan Ramadhan. Sebutlah misalnya Perang Badar yang terjadi pada pertengahan Ramadhan tahun kedua Hijriah dan peristiwa Fathu Makkah di tahun kedelapan Hijriah. Bahkan sejumlah peristiwa bersejarah semisalnya di generasi setelahnya juga terjadi di bulan suci Ramadhan.
Berpuasa dengan hanya menahan dari semua yang membatalkan puasa disertai niat masih dalam kategori puasa formal yang hanya menggugurkan kewajiban. Tak jarang ada yang berpuasa, tetapi tetap melakukan perbuatan ghibah, komentar atau postingannya di medsos tidak mencerminkan orang yang lagi berpuasa. Inilah yang diwanti-wanti Rasulullah SAW, “Betapa banyak yang perpuasa, tetapi hanya lapar dan dahaga yang diperoleh dari puasanya”. Orang yang berpuasa seharusnya juga menghindari segala yang dapat mengurangi keutamaan puasa kita, meski tidak membatalkan, sehingga kualitas puasanya juga menghantarkan kepada ketakwaan sejati.