Bolehkah Ibu Hamil dan Menyusui tidak Puasa Ramadhan?

Rep: Andrian Saputra/ Red: Ani Nursalikah

Ahad 19 Mar 2023 01:05 WIB

Ibu Hamil (Ilustrasi). Bolehkah Ibu Hamil dan Menyusui tidak Puasa Ramadhan? Foto: Pixabay Ibu Hamil (Ilustrasi). Bolehkah Ibu Hamil dan Menyusui tidak Puasa Ramadhan?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa Ramadhan diwajibkan bagi setiap orang-orang yang beriman, yakni mereka yang telah baligh, berakal dan tidak memiliki udzur syar'i. Namun bagaimana dengan ibu hamil atau sedang menyusui, apakah boleh tidak berpuasa? Apa konsekuensinya?

 

Baca Juga

Dalam kitab Safinatun Naja, Syekh Salim Sumair menjelaskan:

 

ألْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ وَهُوَ إِثْنَانِ أَلْأَوَّلُ أَلْإِفْطَارُ لِخَوْفٍ عَلَى غَيْرِهِ وَالثَّانِيْ أَلْإِفْطَار مَعَ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ مَعَ إِمْكَانِهِ حَتَّى يَأْتِيَ رَمَضَانُ أَخَرُ

 

Wajib membayar qadha dan fidyah berlaku, pertama, bagi orang yang batal puasanya sebab mengkhawatirkan orang lain. Kedua, bagi orang yang batal puasa Ramadhan dan tidak mengqadhanya sebab menunda-nunda pada waktu yang memungkinkan hingga datangnya Ramadhan selanjutnya.  

 

Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitab Kasyifatus Saja menjelaskan tentang orang yang batal puasanya sebab mengkhawatirkan orang lain. Beliau menjelaskan orang yang batal puasanya sebab mengkhawatirkan orang lain, seperti ibu hamil dan ibu menyusui yang mengkhawatirkan kesehatan anaknya apabila ia berpuasa kendati pun ibu tersebut sanggup melakukannya. 

 

Maka, menurut para ulama fiqih boleh bagi wanita hamil atau tengah menyusui tidak berpuasa Ramadhan apabila mengalami kepayahan atau khawatir keselamatan anak atau janin dalam kandungannya. 

 

Para ulama fiqih seperti Ibnu Qasim al Ghuzzi dalam Fathul Qarib menjelaskan apabila wanita hamil atau menyusui tersebut khawatir akan keselamatan dirinya saja atau khawatir akan keselamatan dirinya dan anaknya atau janinnya, maka wanita itu tidak ada kewajiban fidyah. Maka, membayar utang puasanya dengan mengqadha saja.

Tetapi jika wanita itu hanya khawatir akan keselamatan anak atau janinnya saja, maka wajib membayar fidyah dan qadha. Sebagaimana penjelasan Syekh Syihabuddin dalam Hasyiyah al Qulyubi

   (وَأَمَّا الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فَإِنْ أَفْطَرَتَا خَوْفًا) مِنْ الصَّوْمِ. (عَلَى نَفْسِهِمَا) وَحْدَهُمَا أَوْ مَعَ وَلَدَيْهِمَا كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (وَجَبَ) عَلَيْهِمَا (الْقَضَاءُ بِلَا فِدْيَةٍ) كَالْمَرِيضِ. ((أَوْ) (عَلَى الْوَلَدِ) أَيْ وَلَدِ كُلٍّ مِنْهُمَا (لَزِمَتْهُمَا) مَعَ الْقَضَاءِ (الْفِدْيَةُ فِي الْأَظْهَرِ)   

 

Perempuan hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka, atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab Syarh al-Muhadzab), maka wajib mengqadha’i puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit. Sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha’i puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-adzhar.

 

Syekh Abu Bakar Muhammad Syatho dalam kitab I’anah ath-Thalibin menjelaskan tentang yang dimaksud khawatir pada kandungan itu adalah khawatir gugurnya kandungan. Maksudnya, apabila dipaksakan berpuasa khawatir terjadi keguguran.