REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof. Musta’in Mashud menjelaskan akar sejarah terkait tiga tradisi yang biasa dilakukan masyarakat menjelang lebaran Idul Fitri, yakni mudik, bagi-bagi tunjangan hari raya (THR), dan tradisi menukar uang baru. Jika diperhatikan dari kacamata sosiologi, kata dia, tradisi-tradisi tersebut memiliki akar sejarah yang unik.
Ia mencontohkan mudik, yang merupakan singkatan dari mulih dilik atau pulang sebentar. Mudik merupakan tradisi lebaran yang umumnya dilakukan masyarakat urban untuk kembali ke kampung halaman. Musta’in menjelaskan, hal ini merupakan konsekuensi logis yang terbentuk secara alami di dalam diri manusia ketika berada jauh dari keluarga.
Momen mudik, kata dia, sudah menjadi kebutuhan diri dan tidak dapat digantikan maupun dikalkulasikan secara ekonomi. "Proses untuk kembali dari tempat bekerja itu sebagian dari romantisme mereka. Jadi segala sesuatu itu tidak bisa dinilai dengan kalkulasi rasional secara ekonomi," ujar guru besar sosiologi tersebut, Rabu (4/5).
Ia melanjutkan prmbahasannya mengenai THR, tradisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh pekerja menjelang hari raya idul fitri. Istilah bagi-bagi THR bahkan dipakai juga untuk memberikan uang kepada keponakan atau saudara yang masih kecil saat momen lebaran.
Menurut Musta’in, bagi-bagi THR dan menunaikan zakat keduanya memiliki makna yang sama jika dilihat dari kacamata sosiologi, yakni sebagai bentuk semangat manusia untuk kembali ke fitrah. Fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh sebab itu, manusia membentuk komunalitas untuk saling berinteraksi dan berbagi dalam memenuhi hajatnya.
Pada masyarakat pedesaan, komunalitas, kebersamaan, kohesivitas, dan solidaritas terjaga dengan baik karena didukung oleh budaya tradisional dan struktur mata pencaharian masyarakat yang berada dekat dengan lingkungan rumah. Masyarakat pedesaan dulu belum mengenal kata THR. Namun, karena sifat moral dan fitrah manusia, pembagian keuntungan usaha antar individu berdasarkan hierarki pekerjaan sudah terbentuk. Hal itu dinamakan patron-klien.
“Secara moral di desa itu orang kaya memiliki kewajiban, si kaya memberi kepada yang miskin, “ ujar Musta’in.
Seiring berjalannya waktu, lanjut Musta'in, tumbuh industri-industri di perkotaan yang membuat masyarakat desa ikut bekerja pada korporasi dengan sistem profesional. Meski begitu, fitrah kemunusiaan tidaklah luntur. Manusia tetap saling bantu membantu serta berbagi, hanya saja dalam berbagi terkadang manusia menunggu momen yang tepat.
THR adalah implementasi dari sifat manusia yang saling berbagi. Namun THR menjadi sesuatu yang diwajibkan oleh negara karena hal ini merupakan momen yang sudah disepakati sebagai bentuk dari hajat bersama agar semua pihak baik pemerintah, pengusaha, buruh, maupun swasta dapat sama-sama mengambil manfaatnya.
“Momen itu menurut saya adalah ruang bersama yang bisa dimaksimalkan agar semua orang mendapat manfaatnya,” kata Musta’in.
Menjelang lebaran, lanjut Musta'in, uang dengan pecahan baru diburu oleh masyarakat. Uang baru digunakan masyarakat untuk berbagi THR kepada keponakan atau sanak keluarga. Menurutnya, hal ini merupakan salah satu bagian dari fasilitas momen. Momen hari raya idul fitri identik dengan ‘salam tempel’.
Agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar keluarga, maka uang yang dibagikan untuk salam tempel nilainya harus sama. Agar nilainya sama, maka uang ditukarkan di bank dan dapatilah uang baru. Proses itu terjadi secara terus menerus dan menjadi sebuah tradisi baru di masyarakat.
“Momen itu dapat menjadi bagian dari kebutuhan diri,” kata dia.