REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis, menjelaskan tentang manusia yang suci dan bersih saat khutbah sholat Idul Fitri 1443 Hijriyah di Jakarta Internasional Stadium (JIS).
Kiai Cholil menyampaikan, sungguh sebuah metafora yang menarik untuk direnungkan. Allah SWT seolah-olah hendak menyatakan bahwa manusia yang suci dan bersih, manusia yang baik dan berguna, manusia yang menang dan bahagia, itu adalah mereka yang mau dan mampu melihat problema masyarakat secara cermat dan bijak, dan kemudian bersedia memecahkannya.
"Mereka mampu menjadi lentera di kala gelap dan menjadi payung berteduh di saat panas. Mereka inilah penganut agama yang benar, agama yang hanifiyah was samhah, terbuka dan lapang, toleran dan pemaaf, damai dan santun. Inilah agama tauhid, agama Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW," kata Kiai Cholil dalam khutbah Sholat Idul Fitri di JIS pada Senin (2/5/2022).
Ia menjelaskan, seorang yang merayakan Idul Fitri adalah orang yang mampu mengembalikan fitrahnya, yang ditunjukkan dengan banyak berbuat baik kepada khalayak. Makin banyak memberi manfaat kepada orang banyak maka makin tampak kesejatian diri yang fitri. Perbuatan baik akan menimbulkan etika dan menciptakan tatanan kehidupan yang tertib dan harmonis. Sementara, kebenaran akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang akan mengantarkan kemajuan peradaban umat manusia.
Acapkali, fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, karena pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan lain-lain. Maka, agar fitrah itu tetap terpelihara kesuciannya, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan Islami yang berlandaskan Alquran dan as-Sunnah. Pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai agama dan akhlakul karimah serta melatih diri dengan berpuasa sunnah.
"Dari latihan Ramadhan, kita diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan, serta cakap dalam menyikapi dan menjawab berbagai peluang dan dinamika kehidupan. Karena itu, segala kebiasaan baik yang telah kita lakukan di bulan suci Ramadhan berupa ibadah puasa, qiyamullail, tilawah, dan tadarus Alquran, menyantuni fakir miskin dan yatim piatu, mengendalikan amarah dan hawa nafsu hendaknya tetap kita lestarikan," ujarnya.
Kiai Cholil menegaskan, bahkan sebainya amalan tersebut ditingkatkan sedemikian rupa agar menjadi tradisi baik dalam diri, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Sehingga fitrah yang telah diraih di hari yang agung ini tetap terpelihara dan memancar menjadi kesalehan individu dan sekaligus kesalehan sosial.
Ia menjelaskan, Abu Hamid bin Muhammad Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menggambarkan penghuni kehidupan dunia laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan. Dalam proses perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua keresahan, antara mengingat perjalanan yang sudah dilewati dengan rintangan gelombang yang dahsyat atau menatap sisa-sisa perjalanan yang masih panjang di mana ujung rimbanya belum tentu mencapai keselamatan.
"Gambaran kehidupan ini hendak mengingatkan agar kita senantiasa memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya. Usia yang masih kita punyai akan menghadapi tantangan zaman dan selera kehidupan yang menggoda maka haruslah kita pergunakan secara optimal untuk memperbanyak berbuat baik guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak," jelasnya.
Kiai Cholil menceritakan, suatu saat, Lukmanul Hakim pernah memberikan taushiyah kepada putranya. "Wahai anakku, sesungguhnya dunia ini laksana lautan yang dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal untuk mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakal sebagai layarnya, niscaya Engkau akan selamat sampai tujuan."
Fuji E Permana