Hukum Puasa Saat Safar dengan Transportasi yang Nyaman

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Dwi Murdaningsih

Kamis 28 Apr 2022 02:00 WIB

Ilustrasi Berpuasa Foto: Republika/Mardiah Ilustrasi Berpuasa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Safar atau dalam perjalanan merupakan salah satu kondisi yang memungkinkan seorang Muslim mendapat keringanan ibadah. Seorang musafir dalam Islam, dibolehkan mengqashar sholat hingga dibolehkan berbuka puasa. 

Namun, di tengah perkembangan alat transportasi saat ini, masihkah hukum ini tetap diberlakukan bagi Muslim? terutama karena alat transportasi telah beragam dan nyaman dipakai oleh para musafir? Bahkan bisa merasa tidak lelah karena kenyamanan alat transportasi. 

Baca Juga

Dalam Ensiklopedi Fatwa Ramadhan karya Syekh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Al Maqshud dijelaskan bahwa ulama Saudi, Syekh Sholeh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan menyebut keringanan-keringanan safar seperti qashar, tidak berpuasa pada bulan Ramadhan adalah keringanan yang umum untuk semua keadaan safar. Walaupun saat ini sudah bermacam-macam sarana safarnya. 

Menurutnya, transportasi modern tidak merubah hukum. Sebab, sarana-prasarana yang nyaman ini tidaklah selamanya dan rasa nyaman tidaklah dirasakan oleh setiap musafir. Bisa jadi pada sarana transportasi terjadi kerusakan atau tidak berfungsi atau kondisi lain yang lebih menyusahkan para musafir dari pada alat transportasi dahulu.

Syekh Sholeh mengatakan, bagaimanapun keadaannya masalah keringanan bagi musafir dilihat dari segi kemudahan. Bila yang mudah baginya adalah tidak berpuasa, maka ia tidak berpuasa dan bila yang termudah baginya adalah berpuasa maka ia berpuasa. 

"Dan kedua-duanya boleh. Dan yang utama adalah mengambil keringanan, karena Allah SWT suka bila keringanannya diambil," katanya

Rasulullah SAW bahkan bersabda:

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِيْ السَّفَرِ

“Tidak termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dalam hadits lain, Nabi berdabda:

إن الله تبارك وتعالى يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته

Artinya: “Sesungguhnya Allah tabaraka wataála suka ketika rukhshah dari-Nya diambil, sebagaimana Ia membenci tatkala maksiat kepada-Nya dilakukan” (HR. Imam Ahmad, Bazzar dan Thabrani dalam Al Ausath).