Menebar Cahaya Agama di Lembah Hitam

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil

Ahad 01 May 2022 14:34 WIB

Menebar Cahaya Agama di Lembah Hitam. Foto: Ilustrasi Taubat Foto: Republika/Mardiah Menebar Cahaya Agama di Lembah Hitam. Foto: Ilustrasi Taubat

REPUBLIKA.CO.IDBANDUNG—Seperti halnya Gang Dolly di Surabaya atau Pasar Kembang (Sarkem) di Yogyakarta, Kota Bandung juga memiliki Saritem, yang telah berdiri sejak zaman kolonial Belanda dan merupakan kawasan prostitusi tertua di Bandung. Namun satu keunikan Saritem yang tidak dapat ditemui di tempat lain adalah keberadaan pondok pesantren yang berdiri persis di gerbang area lokalisasi. Di belakang pondok pesantren Daruttaubah, berdiri ratusan rumah ‘akuarium’ yang menjadi ‘kantor’ para wanita tuna susila bekerja. Maka tak aneh jika kendaraan para ‘tamu’ terlihat berjejer di sekitar atau bahkan di dalam area pesantren yang berdiri sejak 1998 ini. 

Keberadaan Pondok Pesantren Daruttaubah sejatinya memang diprakarsai Pemerintah Kota Bandung bersama Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) untuk mengubah citra negatif pusat lokalisasi yang berlokasi tak jauh dari Stasiun Bandung ini. Kisah sepak terjang pondok pesantren yang diinisiasi oleh Ketua FKPP Kota Bandung KH Imam Sonhaji itu tentu tidak mulus, terutama di tahun-tahun awal berdiri. 

Baca Juga

“Di tahun-tahun awal, banyak sekali ‘gangguan’ yang kami rasakan, mulai dari ditemukannya binatang-binatang berbahaya seperti kalajengking, kelabang, dan lainnya hingga banyaknya santri yang sering kerasukan,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Daruttaubah Ustad Dudu Mardina saat ditemui di Pondok Pesantren Daruttaubah, Kebon Jeruk, Kota Bandung. 

Namun semakin berjalannya waktu, keberadaan pondok pesantren yang menerapkan sistem salafi ini mulai diterima oleh warga lokal, termasuk para pelaku bisnis gelap. Ustad Dudu mengaku kerap diminta tolong untuk membantu persoalan para kupu-kupu malam, mulai dari mereka yang merasa ‘diganggu’, sepi ‘pengunjung’, hingga  mengobati efek samping dari susuk yang mereka pasang.

“Waktu itu ada tiga PSK dari kesini dan meminta doa supaya rame pengunjung, saya juga sebenarnya dilema tapi saya coba kasih mereka amalan dan mereka benar melakukannya, karena tak lama mereka lapor kalau tamunya sudah lumayan banyak,” cerita Ustad Dudu sambil sedikit terkekeh. 

Namun yang menarik dari sederet ‘pekerja’ yang meminta bantuannya adalah timbulnya keinginan untuk bertobat tak lama setelah sesi konsultasi. “Mayoritas dari mereka yang pernah datang kesini, memutuskan untuk bertaubat, berhenti dari dunia gelap dan kembali ke kampung halaman,” kata Ustad Dudu, menambahkan bahwa kebanyakan pekerja merupakan pendatang dari Cianjur, Sumadang, Garut dan Indramayu. 

Selain kerap dijadikan sebagai tempat ‘meminta doa’, warga pesantren juga selalu dipercaya untuk memimpin acara-acara keagamaan yang digelar warga sekitar, mulai dari acara pernikahan, khitanan, hingga pemusalaraan. “Ustad dan para santri sering dipanggil untuk pengajian di rumah warga, termasuk ‘warga’ Saritem,” kata dia. 

Tak sedikit pula para pekerja malam yang mempercayakan anak-anak mereka untuk menuntut ilmu agama di pondok pesantren, baik sebagai santri yang menetap di asrama maupun sebagai santri kalong. Ustad Dudu mengatakan, banyak orang tua santri, yang kesehariannya bekerja di Saritem, yang mendatanginya dan memohonnya untuk membimbing putra-putri mereka. 

“Kebanyakan mereka bilang ke saya, ‘cukup saya saja ustad yang seperti ini (bekerja sebagai tunasusila), jangan anak saja, saya ingin mereka paham agama, tidak seperti saya’,” tutur Ustad Dudu. 

Setiap harinya, para santri, yang kebanyakan berusia tujuh hingga 15 tahun, diajak mempelajari kitab-kitab kuning, seperti Ta’lim Muta’lim, Jurumiyah, dan lainnya. Selain itu, para santri juga disiapkan untuk dapat berperan di tengah masyarakat, khususnya untuk memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan. 

Saat ini, ada sekitar 330 santri yang menuntut ilmu di Daruttaubah, belum termasuk para santri kalong yang biasa datang selepas sekolah formal. Pesantren yang telah berusia lebih dari dua dekade ini sengaja membebaskan para santrinya dari biaya apapun alias gratis, dengan harapan semakin banyak orang tua yang mempercayakan pesantren untuk terus mencetak generasi  muda yang Islami dan berakhlak mulia.

“Semua gratis, baik santri tetap maupun santri kalong. Kami hanya ingin mereka menjadi insan-insan yang berakhlak karimah dan dapat membawa perubahan positif bagi lingkungannya,” harap Ustad Dudu.