Etnis Uighur Dilarang Puasa

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Djibril Muhammad

Ahad 05 Aug 2012 10:10 WIB

 Muslim Cina di Linxia. Leluasa menunjukkan identitas.(www.cbc.ca) Foto: . Muslim Cina di Linxia. Leluasa menunjukkan identitas.(www.cbc.ca)

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG - Diskriminasi atas nama agama tak henti-hentinya dialami umat Muslim di Cina. Di Provinsi Otonom Xinjiang, Cina, pejabat dan siswa-siswi Muslim, di bawah 18 tahun dilarang untuk berpuasa di bulan suci umat Islam, Ramadhan.

Kebijakan tak toleran ini dikeluarkan Pemimpin Partai Komunis Cina, dan disiarkan ke berbagai situs resmi pemerintahan. Dalam surat kabar The National yang berbasis di Uni Emirate Arab, larangan itu dimaksudkan untuk menekan kelompok Muslim minoritas Uighur, dengan melarang kegiatan keagamaan Muslim, termasuk mengunjungi Masjid.

Sebuah pernyataan yang dirilis dari Kota Zongland, di Kabupaten Kashgar pejabat setempat mengaku kebijakan tersebut dikatakan untuk menjaga stabilitas sosial selama bulan Ramadhan. Tidak puas dengan larangan, Pemerintah Pusat Cina juga meminta pejabat di provinsi otonom itu, untuk melakukan segala upaya untuk mencegah etnis Muslim Uighur berpuasa.

Di situs resmi pemerintah Xinjiang, pemimpin partai komunis setempat agar memberi hadiah, berupa makanan disaat menjalankan puasa, kepada pejabat lokal yang beragama Muslim. Di daerah Wensu partai komunis juga menekan lembaga pendidikan sekitar, agar memastikan jam makan siang bagi para siswa tanpa terkecuali, dan larangan masuk ke Masjid.

Kelompok hak asasi yang berada dipengasingan mengutuk tindakan represif tersebut. Juru Bicara Kongres Uighur Seluruh Dunia mengatakan tindakan itu akan semakin mengeraskan keyakinan etnis Uighur untuk menolak mengakui kekuasaan Cina atas wilayah tersebut.

"Orang-orang Uighur akan menolak Cina lebih jauh," kata Dilshat Rexit, tulis The National, seperti dilansir Alarabiya, Ahad (5/8).

Saat ini tak kurang dari sembilan juta etnis Uighur di Xinjiang. Kelompok asli wilayah bagian barat laut Cina ini mayoritas beragama Islam, mereka tidak berbahasa Cina maupun mandarin, namun berbahasa menggunakan bahasa Turki.

Banyak dari mereka menganggap kehidupan mereka kerap mendapat penganiyaan secara politis, dengan membungkam praktik peribadatan mereka oleh pemerintah setempat. Tiga tahun silam, tepat Juli 2009 etnis Muslim ini sempat melawan, dan mengakibatkan bentrokan komunal yang menewaskan tak kurang dari 200 orang.