Muhammadiyah: Perbedaan Idul Fitri Tak Merusak Ukhuwah

Rep: Yulianingsih/ Red: cr01

Ahad 28 Aug 2011 19:29 WIB

Ribuan umat Muslim melaksanakan shalat tarawih pertama di masjid Istiqlal Jakarta, Ahad (31/7). Sementara 1 Syawal 1432 H diprediksikan jatuh pada hari yang berbeda. Foto: Republika/Agung Supriyanto Ribuan umat Muslim melaksanakan shalat tarawih pertama di masjid Istiqlal Jakarta, Ahad (31/7). Sementara 1 Syawal 1432 H diprediksikan jatuh pada hari yang berbeda.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengimbau kepada seluruh warga Muhammadiyah dan seluruh umat Islam agar menjadikan perbedaan Idul Fitri tahun ini bukan sebagai hal yang harus diperdebatkan.

Bahkan perbedaan tersebut diharapkan justru menjadi momentum untuk terus mengembangkan toleransi antara umat Islam sendiri. "Perbedaan ini telah didasarkan pada keyakinan agama serta memperoleh jaminan konstitusi. Karenanya perbedaan ini tidak akan merusak ukhuwah di antara umat Islam," terang Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, di Yogyakarta, Ahad (28/8).

Menurutnya, PP Muhammadiyah telah memutuskan 1 Syawal 1432 H berada pada tanggal 30 Agustus 2011. Hal itu didasarkan atas hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Berdasarkan hasil hisab tersebut ijmak menjelang Syawwal 1432 H terjadi pada hari Senin 29 Agustus 2011 M pukul 10:05:16 WIB. Tinggi hilal pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta (f = -07° 48¢ dan l = 110° 21¢ BT) adalah ¬+01° 49¢ 57² (hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam hilal sudah berada di atas ufuk. "Atas dasar tersebut maka diputuskan 1 Syawal berada pada Selasa tanggal 30 Agustus 2011 mendatang," tandas Haedar.

Meski ada perbedaan Idul Fitri, kata dia, Muhammdiyah meminta kepada pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dengan seluruh lembaga dan aparaturnya untuk tetap bersikap adil dan memberikan keleluasaan pada umat Islam yang berbeda menjalankan  Idul Fitri. "Kita juga mengimbau pemerintah tidak melakukan praktek pelarangan atau  mempersulit masyarakat yang akan merayakan Idul Fitri," tambahnya.

Karena, lanjut Haedar, menjalankan shalat Idul Fitri tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan beragama dan beribadah yang semestinya dihormati karena dijamin oleh konstitusi Negara Republik Indonesia. "Karenanya alangkah bijak apabila pemerintah mengayomi dan memfasilitasi siapa pun dari warga negara yang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya, serta tidak mencampuri dan mempersulit pelaksanaannya," tegasnya.