Ridwan Saidi: Puasa Zaman Sekarang Seolah Kurang Nikmat

Rep: Agung Sasongko/ Red: Johar Arif

Kamis 21 Jul 2011 09:23 WIB

Ridwan Saidi Foto: Republika/Subarkah Ridwan Saidi

REPUBLIKA.CO.ID - Zaman terus berubah. Hal ini diikuti dengan tradisi berpuasa di Indonesia. Zaman dulu, berbuka dengan air putih plus singkong rebus merupakan nikmat yang luar biasa. Kini, dua menu itu hilang tak berbekas.

"Saya ini 63 tahun berpuasa, tapi berbuka di zaman sekarang tidak senikmat zaman dulu," kenang Ridwan Saidi, sejarawan Betawi, kepada Republika.co.id.

Dikatakan Ridwan, zaman dulu, Indonesia belum semaju sekarang. Namun, kemajuan iman dan takwa sudah lebih dulu ada. Itu terlihat dari suasana kampung dan kota yang begitu kental suasana Ramadhan. Tidak ada individu dengan sembrono merokok sembarang, tidak ada pula restoran atau warung makan secara vulgar mempertontonkan dagangannya. "Berbeda sekali," kata dia.

Ridwan teringat, semasa Bung Karno berkuasa, puasa merupakan momentum umat Islam untuk mempererat tali silaturahmi dengan balutan menu berbuka sederhana. Tidak terlihat menu dengan aneka warna dan rasa digelar dalam meja berukuran besar. Yang ada, hanya sajian teh pahit, air putih dan singkong rebus. "Saya rasakan betul betapa nikmatnya," kata dia.

Kesederhanaan berikut kenikmatannya membuat Umat Islam zaman dulu begitu merasakan atmosfer berpuasa. Atmosfer yang tercipta tidak hanya dalam aspek berbuka saja. Tapi diikuti dengan urusan ibadah. Seperti tarawih dan membaca Alquran. Suasana itu tercipta dari awal hingga akhir.

Ridwan mengaku, atmosfer yang tercipta itu menarik minat dirinya untuk mengikuti. Padahal, usia muda, merupakan masa-masa penuh godaan-godaan yang besar. Tapi, suasana itu menaklukan "darah muda" sehingga dirinya seolah hanyut. "Rasanya, sayang kalau tidak memanfaatkan momentum berpuasa," kata dia.

Ridwan mengungkap ibadah yang dijalankan begitu dihayati, padahal saat bersamaan kondisi saat itu begitu mencekam. Isu Partai Komunis Indonesia (PKI), pemberontakan-pemberontakan marak terjadi, dan harga-harga melonjak tajam. Situasi itu, kata dia, mendadak hilang seketika ketika bulan puasa tiba. "Kalau dibayangkan, kok bisa kondisi yang demikian mencekam, puasanya lancar-lancar saja tuh," kata dia.

Menurut dia, puasa itu sudah menjadi kewajiban setiap Muslim. Jadi, apapun kondisinya, setiap Muslim harus menjalankannya dengan suka cita. Sebuah hal keliru mengkambinghitamkan kondisi untuk tidak berpuasa. Karena itu, sesulit apa pun tingkat ekonomi, berpuasa tetap jalan terus. "Memang orang zaman sekarang, kerja capai sedikit saja langsung tidak berpuasa," kata dia.

Ridwan mengaku ada semacam pergeseran pandangan umat Islam terhadap puasa. Ada semacam perubahan konteks dalam memandang puasa. Zaman dulu, puasa lebih dominan aspek ritual. Zaman sekarang lebih mengutamakan aspek seremonial. Misalnya saja, agenda berbuka bersama banyak diadakan. Tapi tarawih dan tadarusan bersama dikesampingkan. "Inilah bedanya," kata dia.

Efek perubahan itu tampak jelas dengan menghilangnya tradisi buka puasa di rumah. Padahal, berbuka di rumah merupakan nikmat lain yang diberikan Allah SWT Kepada umatnya. "Sajiannya memang nikmat-nikmat tapi kehilangan maknanya," kata dia.

Hal yang memprihatinkan lagi, kata Saidi, bulan puasa seolah dijadikan kedok para pencuri uang rakyat untuk mengundang buka bersama. "Saya aneh melihatnya," kata dia. "Saya gak pernah mau ikut berbuka kalau ternyata yang mengundang sosok bermasalah," kata dia.

Ke depan, Ridwan meminta umat Islam untuk mengembalikan atmosfer yang telah hilang. Menjadikan suasana ramadhan lebih mengedepankan aspek ritual ketimbang seremoni. Meramaikan masjid di awal hingga akhir dan tidak sembarangan melakukan razia. "Kita harus kembali menciptakan kondisi itu dan galakan kembali berbuka di rumah," pungkas dia.

Terpopuler