REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ramadhan merupakan bulan pendidikan atau disebut sebagai syahrul tarbiyah.
Ulama asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi mengungkapkan, puasa Ramadhan di antaranya bertujuan untuk menundukkan nafsu ammarah, yaitu jiwa manusia yang ingin memenuhi kehendak hawa nafsu dalam segala bidang kehidupan.
“Puasa Ramadhan memiliki banyak hikmah dilihat dari tujuannya dalam mendidik nafsu ammarah, dalam meluruskan akhlaknya, dan dalam menjadikannya menjauhi berbagai perbuatan yang tidak jelas,” kata Nursi dikutip dari bukunya yang berjudul “Misteri Puasa, Hemat, dan Syukur” terbitan Risalah Nur Press.
Nursi menjelaskan bahwa nafsu manusia cenderung lupa kepada jati dirinya. Menurut dia, manusia tidak melihat kelemahan tak terhingga, kefakiran tak bertepi, dan berbagai kekurangan yang terdapat dalam dirinya.
“Ia tidak mau melihat semua itu, tidak mau merenungkan puncak kelemahannya, kondisinya yang akan lenyap, serta berbagai kesulitan yang akan ia hadapi. Ia juga lupa kalau dirinya berasal dari daging dan tulang yang cepat rusak dan hancur,” jelas dia.
Selain itu, menurut Nursi, manusia itu juga merasa seolah-olah wujudnya berasal dari baja, tidak akan pernah mati, dan akan kekal abadi. Karena itu, ia menyambar dunia dan melemparkan diri ke dalamnya dengan rasa tamak disertai dengan kecintaan buta terhadapnya.
Manusia menguatkan cengkeramannya terhadap segala hal yang dirasa nikmat dan berguna. Akibatnya, ia lupa kepada Sang Pencipta yang telah mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ia juga melupakan balasan amal perbuatannya dan kehidupan akhiratnya sehingga terjatuh ke dalam akhlak tercela.
“Namun, puasa Ramadhan mampu membuat manusia yang paling lalai dan membangkang dapat merasakan kelemahan, ketidakberdayaan, dan kefakirannya,” kata Nursi.
Lewat rasa lapar, lanjut dia, masing-masing mereka memikirkan perutnya yang kosong sekaligus menyadari rasa butuh yang terdapat dalam perutnya itu serta menyadari sejauh mana kelemahan dan kebutuhannya terhadap rahmat dan kasih sayang ilahi.
“Dari lubuk hatinya, ia ingin mengetuk pintu ampunan Tuhan dengan segala kelemahan dan kefakiran yang ada seraya melepaskan sifat keangkuhan dalam jiwanya. Lalu dengan itu ia bersiap-siap mengetuk rahmat ilahi dengan tangan syukur maknawi, selama kelalaian tidak merusak mata hatinya,” jelas Nursi.