REPUBLIKA.CO.ID,GAZA–Invasi Rusia ke Ukraina berdampak besar pada krisis pangan di beberapa bagian Afrika dan Timur Tengah. Kondisi ini merusak persiapan untuk bulan suci Ramadhan dan memaksa beralih ke menu berbuka puasa yang hemat.
Dari Libanon, Palestina, Tunisia hingga Somalia, umat Islam yang biasanya berbuka puasa subuh dengan makanan keluarga yang spesial. Tapi kini mereka berjuang untuk mendapatkan makanan, bahkan untuk kebutuhan pokok yang paling mendasar sekalipun karena melonjaknya harga makanan dan bahan bakar.
"Harga tinggi mempengaruhi dan merusak semangat Ramadhan," kata Sabah Fatoum, seorang penduduk Jalur Gaza yang diblokade Israel, di mana harga barang-barang konsumen telah naik hingga 11 persen dilansir dari The New Arab, Kamis (31/3/2022).
"Kami mendengar bahwa harga akan naik lebih banyak lagi, itu menjadi beban bagi orang-orang," kata pria berusia 45 tahun itu kepada AFP menjelang bulan suci yang dimulai akhir pekan ini dengan penampakan bulan sabit.
Rusia dan Ukraina adalah daerah penghasil biji-bijian yang luas yang merupakan salah satu lumbung pangan utama dunia. Keduanya menyumbang sebagian besar ekspor dunia dalam beberapa komoditas utama seperti gandum, minyak sayur, dan jagung.
Gangguan arus ekspor akibat invasi Rusia dan sanksi internasional telah memicu kekhawatiran akan krisis kelaparan global, terutama di Timur Tengah dan Afrika, di mana efek sampingnya sudah mulai terasa.
Korban paling terlihat di negara-negara seperti Yaman, negara termiskin di dunia Arab, di mana perang yang menghancurkan sejak 2014 telah memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Harga pangan di sana telah berlipat ganda sejak tahun lalu dan fakta bahwa Ukraina memasok hampir sepertiga dari impor gandum Yaman telah meningkatkan kekhawatiran akan kelaparan yang semakin dalam.
Mohsen Saleh, seorang penduduk ibukota Sanaa, mengatakan bahwa setiap tahun harga melonjak menjelang Ramadhan. "Tetapi tahun ini, mereka telah meningkat dengan cara yang gila, orang tidak dapat menerimanya," katanya.
"Situasi ekonomi sangat sulit. Kebanyakan orang di Yaman miskin dan kelelahan," kata pria berusia 43 tahun itu kepada AFP.
Di Suriah, di mana konflik sejak 2011 telah menjerumuskan hampir 60 persen populasi ke dalam kerawanan pangan, Ramadhan bagi banyak orang telah menjadi pengingat menyakitkan akan masa lalu yang lebih baik.
Harga minyak goreng naik lebih dari dua kali lipat sejak dimulainya perang Ukraina dan dijual dalam jumlah terbatas.
Pemerintah Suriah, tidak luput dari statusnya sebagai sekutu setia Moskow, juga menjatah gandum, gula, dan beras. “Saya pikir Ramadhan lalu akan menjadi yang paling hemat,” kata Basma Shabani, seorang warga Damaskus berusia 62 tahun, mengingat kembali setahun yang juga dirusak oleh pandemi Covid.
"Tapi sepertinya tahun ini kami akan menghapus lebih banyak hidangan dari menu kami. Kami tidak mampu lagi membeli lebih dari satu jenis hidangan di meja kami dan saya khawatir di masa depan bahkan hidangan yang satu ini akan berada di luar jangkauan kami, "tambahnya.