Hukum Menunda Qadha Puasa Ramadhan

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil

Ahad 27 Mar 2022 21:00 WIB

Hukum qadha puasa Ramadhan dapat dikaji dari alasanseseorang.   Ilustrasi: Berpuasa Foto: Pixabay Hukum qadha puasa Ramadhan dapat dikaji dari alasanseseorang. Ilustrasi: Berpuasa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammad Ajib, Lc., MA, dalam ceramah virtualnya mengenai 'Bagaimana Hukumnya Orang Yang Mengakhirkan Qadha Puasa Ramadhan?' melalui website Rumah Fiqih menjelaskan, hukum mengqadha puasa Ramadhan dapat dikaji dari alasan seseorang menunda mengqadha puasanya. Dia menjelaskan, jika seseorang menunda mengqadha puasanya karena uzur, seperti sakit atau melakukan perjalanan yang sangat jauh sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan puasa, maka orang tersebut hanya perlu mengqadha hutang puasanya di Ramadhan sebelumnya dan diakumulasikan dengan hutang puasanya di Ramadhan saat ini, jika ada. 

"Menurut imam nawawi dalam Al-Majmu, jika ada orang yang menunda wadha puasa ramadhan karena ada uzur (sakit atau perjalanan yang lama) maka tidak apa-apa, tapi yang bersangkutan tetap harus mengqadha puasanya hingga bertemu ramadhan selanjutnya," jelas Muhammad Ajib. 

Baca Juga

"Misalnya ada hutang puasa 10 hari, lalu belum mengganti puasanya karena sakit, maka hutang puasanya dapat dilakukan setelah ramadhan berikutnya berakhir," sambungnya.

Namun akan berbeda jika seseorang dengan sengaja menunda mengqadha puasanya. Maka seseorang tersebut selain tetap harus mengqadha puasa, tapi juga dibebankan untuk membayar fidyah (tebusan). Fidyah diartikan sebagai denda yang wajib dilakukan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan suatu larangan. 

"Jika seseorang menunda mengqadha puasa karena sengaja, maka dia berdosa, dan dia harus tetap membayar hutang puasa dan membayar fidyah senilai satu mud," jelasnya.

"jadi tolak ukurnya itu tergantung alasan penundaannya, apakah karena ada uzur atau memang karena malas saja," tutup Muhammad Ajib. 

Sementara itu, dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah jilid 32, dituliskan bahwa seluruh fuqaha sepakat bahwa orang yang memiliki hutang qadha’ puasa wajib (puasa Ramadhan) tapi dia menunda qadha’ nya itu sampai bertemu Ramadhan berikutnya karena ada udzur syar’i, maka ia tidak berdosa dan boleh meng-qadha’ nya sampai tiba masanya ia mampu membayar qadha’ itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadhan dilaluinya. 

“Udzur Syar’i disini maksudnya adalah sebab yang dibenarkan dalam syariat untuk menunda qadha’ puasa Ramadhan. Misalnya, bila kondisi wanita hamil dan menyusui masih tidak juga memungkinkannya untuk berpuasa. Karena jika berpuasa, khawatir akan terjadi hal-hal buruk terhadap kesehatan diri dan bayi yang dikandung atau disusuinya,” jelas Ustadzah Aini Aryani Lc kepada Republika. 

Alumni International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan itu mencontohkan seorang wanita yang terpaksa meninggalkan puasa Ramadhannya karena sedang hamil, dan khawatir akan terjadi hal buruk pada kesehatan tubuhnya, maka menurut para ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali, wanita ini wajib mengganti puasanya. Akan tetapi bila sehabis Ramadhan ternyata kondisi wanita ini masih sangat payah sebab masih hamil atau sedang menyusui, dan tidak memungkinkannya untuk meng-qadha’ hingga akhirnya bertemu Ramadhan berikutnya (2013).

“Wanita ini tidak berdosa dan boleh melaksanakan qadha’ puasanya yang terdahulu itu pada waktu ia sanggup untuk melaksanakannya. Ia juga tidak berkewajiban untuk membayar fidyah,” jelas alumni Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta itu.

Namun di lain kasus, Jumhur Fuqaha (mayoritas ulama) dari mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan beberapa shahabat Nabi SAW berpendapat, orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam meng-qadha’ puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum di qadha’nya itu, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’nya.

Misalnya, bila ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, kemudian usai Ramadhan ia punya kesempatan meng-qadha’ hutang-hutang puasanya itu, tapi ia lalai dan menundanya sampai akhirnya bertemu Ramadhan selanjutnya. Maka menurut mayoritas ulama, ia wajib membayar fidyah atas hutang puasanya yang belum di qadha’, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’ itu sendiri.

“Artinya, kewajiban qadha’ tetap harus ia lakukan usai Ramadhan yang kedua tadi, plus ditambah bayar fidyah karena ia telah lalai melakukan qadha’ sampai bertemu Ramadhan yang kedua. Jika ia punya hutang puasa 5 hari, dan ia belum mengqadha’nya seharipun hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, maka selain tetap harus membayar qadha’ ia juga wajib membayar fidyah selama 5 hari itu,” jelas perempuan yang bekerja sebagai peneliti di Rumah Fikih Indonesia itu.

“Akan tetapi bila sebelum Ramadhan kedua ia sempat meng-qadha’ puasanya selama 3 hari, sedangkan sisanya yang 2 hari ia tunda sampai bertemu Ramadhan yang kedua, maka ia harus membayar fidyah selama 2 hari saja,” jelasnya menambahkan.

Adapun fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud/hari yang diberikan pada fakir miskin berupa makanan pokok yang lazim di konsumsi di negeri itu, kalau di Indonesia biasanya beras. Ukuran beras 1 mud kurang lebih ¼ dari ukuran zakat fitrah, yakni sekitar 0,875 liter atau 0,625 kg.