Beda Alquran dan Al Furqan dalam Perspektif Tasawuf

Red: Nashih Nashrullah

Kamis 29 Apr 2021 16:45 WIB

Alquran merupakan pedoman untuk manusia yang punya fungsi al furqan. Ilustrasi Alquran Foto: pxhere Alquran merupakan pedoman untuk manusia yang punya fungsi al furqan. Ilustrasi Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dalam pandangan sufistik makna Alquran dan Al Furqan berbeda penekanan. Secara harfiah Alquran berasal dari akar kata qara`ayaqrau berarti menghimpun atau mengumpulkan (al-jam') dan membaca (al-nuthq). 

Dari akar kata tersebut lahirlah kata Alquran berarti himpunan atau kumpulan (solidifications). Dari akar kata yang sama lahir kata Alquran yang berarti Kitab Suci yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril untuk dijadikan tuntunan hidup bagi umatnya. Disebut Alquran karena kitab itu berisi bacaan (Alquran) dan kandungannya menghimpun keseluruhan inti ajaran kitab-kitab suci sebelumnya. 

Baca Juga

Sedangkan, Al Furqan secara harfiah berasal dari kata farraqa-yufarriqu-furqan berarti membedakan, memisahkan, membagi-bagi, dan memperhadap-hadapkan. Dari akar kata ini lahir kata Al Furqan, nama lain dari Alquran, berarti memisahkan antara yang hak dan batil, baik, dan buruk. 

Secara populer Alquran dan Al Furqan mempunyai arti sama (bi mana wahid), yakni kitab suci Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Jibril, kemudian menjadi sebuab Kitab tuntunan hidup bagi umat Islam. Namun, dalam pandangan tafsir sufistik (isyari) keduanya memiliki arti yang berbeda.

Dalam pandangan tasawuf, sebagaimana dijelaskan Dawud Al Qushairi, salah seorang musyarrih kitab Fushush al-Hikam karya Ibn Arabi, Alquran dimaknai sebagai himpunan dari berbagai realitas dan entitas yang ada. 

Alquran sering dijadikan istilah untuk maqam lebih tinggi (al-maqam al-'ulya) atau sering menjadi atribut bagi 'manusia langit' (al-insal alsamawi), yaitu orang-orang yang sudah memandang pluralitas kehidupan dan heterogenitas alam semesta sebagai wujud entitas ilahi (al-jam'iyyah alilahiyyah/ single divine-entity). 

Alquran menjadi atribut bagi orang yang sudah sampai kepada maqam atas, yang tidak terganggu lagi dengan kahadiran entitas-entitas yang bermacam-macam, bahkan cenderung berkontradiksi satu sama lain. 

Sementara, Al Furqan menurut Ibn 'Arabi digunakan sebagai lambang identitas bumi dan maqam rendah (al-maqam al-sufia). Disebut "manusia bumi" (al-insan al-ardh) atau al-insan al-furqan karena paradigmanya masih memandang realitas alam ini sebagai makhluk dan entitas yang beraneka ragam. Belum masuk ke wilayah maqam kesatuan (al-maqam al-jam').  

Manusia langit (al-insan alsamawi) yang biasa disebut manusia Qurani (al-insan al-qur'ani) tidak lagi sibuk mencari identitas setiap entitas yang ada karena mereka sudah sampai pada kesadaran bahwa pluralitas kehidupan dan heterogenitas entitas yang ada sesungguhnya adalah satu (the oneness) atau biasa disebut al-maqam al-jam' atau al-jam'iyyat al- Ilahiyyat. 

Apa yang tampak sebagai the whole entity dalam alam semesta ini, baik makrokosmos maupun mikrokosmos, tidak lain adalah pengejawentahan (tajalli) diri-Nya Sang Maha-Esa. Orang yang sampai kepada maqam ini disebut maqam al-qurb alnawafil. 

Ada orang yang sampai kepada puncak penyaksian bahwa sesungguhnya yang ada ini tidak ada siapa pun dan apa pun selain Dia Yang Maha-Esa (ahadiyyah/the one and only). Sebetulnya masih ada lagi satu maqam yang lebih puncak, yaitu maqam Alqurb al-faraid, tetapi berbagai kalangan sudah dianggap masuk ke wilayah "al-Qurb".  

Manusia Qurani tidak lagi tersedot energinya untuk mengidentifikasi entitas-entitas yang berbeda yang ada di sekitarnya karena mereka melihat apa yang ada sesungguhnya adalah hanya sebuah realitas. 

Tantangan kita sekarang bagaimana beranjak dari manusia bumi menjadi manusia langit. Apakah karakter 'manusia bumi' dan 'manusia langit', masih diperlukan pembahasan tersendiri. 

Keanekaragaman realitas ini kemudian menyedot energi untuk melakukan identifikasi, mencari perbedaan dan persamaan antara satu realitas dengan realitas lain. 

Bahkan, perbedaan itu memengaruhi karakter dan kepribadiannya. Ada yang disukai berlebihan dan ada yang dibenci secara berlebihan. Mereka menikmati, tetapi sekaligus terbebani dengan pluralisme kehidupan dan heterogenitas alam semesta. 

Namun, lebih banyak energinya tersedot untuk melakukan penyesuaian di antara berbagai pluralitas yang ada. Manusia bumi sulit merasakan kebahagiaan dan dan kedamaian secara permanen karena paradigmanya masih lebih sering memperhadap-hadapkan antara identitas satu entitas dan entitas yang lain. Akhirnya, dia merasa tidak pernah merasa penuh dan puas karena sehari-hari mengejar bayangan fatamorgana. Allahu a'lam.