Oleh : Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Penggunaan kata 'alim' dan 'arif' dalam bahasa Indonesia sering dipertukarkan. Seolah-olah kedua kata ini sinonim. Padahal, dalam perspektif tasawuf, keduanya amat berbeda.
'Alim' dari akar kata 'alima-ya'lam berarti mengetahui, mengerti. Memang arti dasarnya mirip dengan kata 'arafa-ya'rifu berarti memahami, mengetahui. Kalau sudah menjadi isim fa'il, 'alim' dan 'arif' sudah mulai dibedakan.
'Alim' artinya 'orang yang mengetahui sesuatu dengan menggunakan kecerdasan logika'. Sedangkan 'arif' berarti 'orang yang memahami sesuatu dengan menggunakan kecerdasan batin/spiritual'.
Umumnya orang-orang arif itu alim, tetapi tidak semua orang alim itu arif. Ada seorang ilmuwan, bahkan profesor, tetapi penampilan dan akhlaknya seperti 'kurang ajar'. Sedangkan arif, mungkin pendidikan formalnya tidak terlalu tinggi, tetapi penampilan dan akhlaknya santun. Bahkan, orang yang arif jalan pikirannya pun lurus, hatinya tulus dan bersih, tidak riya, dan tidak kasar.
Cara untuk menjadi alim bagi banyak orang tidak terlalu susah. Yang penting ada kesungguhan, punya biaya, dan rajin belajar, insya Allah pasti dapat. Orang yang mengenyam pendidikan di bangku sekolah atau bangku kuliah pasti dapat memperoleh ilmu.
Namun, untuk meraih kearifan tidak cukup hanya dengan rajin belajar dan biaya yang cukup, tetapi lebih dari itu, harus senantiasa mendekatkan diri sedekatdekatnya kepada Allah SWT, menjauhi larangan dan menaati perintahnya. Itu pun belum tentu dapat. Makanya diperlukan kesabaran, kepasrahan diri, dan tawakal yang kuat serta senantiasa berdoa agar mendapatkan berkah itu.
Kealiman dapat diperoleh melalui ijtihad dengan mengerahkan energi akal pikiran, sedangkan kearifan diperoleh melalui mujahadah dengan mengerahkan energi batin. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode yang pertama disebut ilmu ('ilmun), sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui metodologi yang kedua disebut makrifat (ma'rifah).
Idealnya seorang Muslim atau Muslimah, ilmu dan ma'rifah menyatu secara utuh di dalam dirinya, seperti diisyaratkan dalam ayat yang pertama kali turun di dalam Alquran surat Al Alaq 1:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ “Iqra' bi ismi Rabbik (Bacalah dengan membaca nama Tuhanmu).” Iqra simbol ilmu dan bismi Rabbik menjadi simbol makrifat.
Dalam Alquran, kemampuan yang dapat dicakup oleh ilmu amat terbatas, seperti kata Alquran surat Al Isra 1:
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا Wama utitum minal 'ilmi illa qalila (Kami tidak memberikan ilmu kepada kalian melainkan hanya sedikit).
Sedangkan yang biasa disepadankan dengan makrifat ialah hikmah, yaitu sesuatu yang unlimited, tanpa batas, sebagaimana dikatakan dalam Alquran:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ Yu'til hikmah man yasya', wa man yutal hikmah faqad utiya khairan katsira (Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki (oleh Allah), barang siapa yang mendapatkan hikmah itu maka akan diberikan kebaikan yang lebih banyak).
Idealnya untuk seorang Muslim, harus memiliki kedua-duanya, ilmu dan makrifat. Keilmuan akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan-kemudahan duniawi, sedangkan makrifat akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan ukhrawi. Ilmu banyak menolong kita untuk sukses menjadi khalifah di bumi, sedangkan makrifat banyak meno long kita untuk sukses menjadi hamba /abid.
Manusia paripurna atau insan kamil ialah manusia yang menyandingkan keberhasilannya sebagai khalifah dan sebagai hamba. Hubungan horizontal (hablun minannas) dengan sesama makhluk idealnya berbanding lurus dengan hubungan vertikal (hablum minallah). Semoga Allah SWT menuntun kita untuk memiliki kedua-dua nya, ilmu amaliyah dan amaliyah yang ilmiah. Alim sekaligus arif karena memiliki ilmu dan makrifat.