REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Dr. Elviandri, S.HI., M.Hum*
Islam merupakan agama wasathiyah, moderasi. Secara tegas Al-Quran menyebut sebagai ummatan wasathan (tengah, adil, pilihan) dalam surat al-Baqarah [2] ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
Dalam hadits disebutkan “Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah" (HR. Al-Baihaqi). Sejarah mencatat setidaknya ada 3 varian pemahaman yang mewarnai cara beragama, yakni radikal, moderat, dan liberal.
Pada dasarnya moderasi beragama merupakan jalan tengah sebagai titik temu antara pemahaman dan pengamalan tatharruf tasyaddud (ekstrim keras radikal, ekstrim kanan) dan tatharruf tasahhul (ekstrim meremehkan, esktrim kiri). Begitu juga antara tekstual fantisme buta dan konstekstual rasionalitas, ekstrim eksklusif kebenaran tunggal dan ekstrim semua benar, serta ekstrim absolutisme dan ekstrim relativisme.
Dalam konteks ini, maka menggali nilai-nilai Ramadhan yang menyiratkan pesan moderasi beragama dan berbangsa sebagai momentum menebarkan rahmatan lil alamin. Ulama dan cendekiawan Islam menyematkan Indonesia sebagai darus salam (negara damai), dengan satu tujuan agar semua anak bangsa yang terdiri dari lintas agama, suku, ras, dan golongan bisa hidup berdampingan secara damai. Dengan terciptanya kerukunan, persaudaraan, dan kebersamaan menjadi kunci pembangunan bangsa yang pluralistik dan heterogenistik ini.
Spirit Moderasi
Spirit moderasi yang dibangun melalui puasa ramadhan dapat digali melalui nilai intrinsik yang sangat relevan dalam menumbuhkan pesan moderasi beragama dan berbangsa. Spirit moderasi tersebut dapat dipahami dari:
Pertama, puasa Ramadhan mengajarkan menahan diri dari berkata bohong, mencela dan mencaci maki, mengadu domba, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan sumpah palsu. Termasuk juga didalamnya tidak menyebarkan berita hoax dan content negatif destruktif, dengan menyebar fitnah yang menyebabkan kebencian dan permusuhan karena saling menyalahkan dan menghakimi.
Hal itu sesuai dengan hadis dari Rasulullah SAW berikut: "Orang yang tidak menjauhi perkataan dusta dan mengamalkan dustanya, maka tak ada hajat bagi Allah untuk menilai puasanya meski ia bersusah payah seharian menjauhi makanan dan minuman." (HR. Bukhari).
Kedua, spirit berbagi dengan sesama, khususnya mereka yang membutuhkan. Spirit berbagi adalah spirit yang lahir dari rasa empati dan rasa cinta kepada sesama. Kepekaan sosial inilah akan menjadi bekal hadiah bagi seseorang yang telah melakukan ibadah puasa dalam satu bulan untuk menghadapi bulan-bulan setelah bulan Ramadhan.
Esensi ibadah puasa dalam aspek sosial, adalah menjadikan seseorang memiliki jiwa sosial tinggi, peka terhadap lingkungan, selalu memberikan pertolongan bagi yang membutuhkannya, serta ikhlas dalam setiap perbuatannya tanpa ada pamrih. Ramadhan sebagai bulan untuk melatih kesabarannya dan melatih kepekaan diri terhadap masalah sosial. nabi berpesan kepada kita bahwa "Sedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan." (HR At-Turmudzi dari Anas).
Bahkan Cinta kepada kemanusiaan adalah strata keimanan yang agung sehingga Nabi memerintahkan umat Islam untuk mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian semestinya apapun yang membuat susah orang lain dihindari dan apa yang menjadikan bahagia orang lain dilakukan dengan penuh ketulusan.
Akhirnya, malalui Puasa Ramadhan kita tingkatkan spirit Moderasi beragama dan berbangsa demi terwujudnya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Spirit moderasi yang dibawa oleh puasa ramadhan melalui sikap yang meghormati harkat martabat orang lain dan semangat berbagi dengan sesama seihingga menimbulkan rasa empati dan cinta kepada sesama sejatinya dapat menolak sikap ekstremisme dan liberalisme dalam beragama demi terwujudnya perdamaian dan harmoni dalam kebangsaan. Dalam masyarakat yang heterogen dan multikultural ini moderasi beragama dan berbangsa bukan sekedar pilihan, melainkan kewajiban bersama untuk merajutnya.
*Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah