REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Meiliza Laveda / Wartawan Republika
Tak terasa, pandemi Covid-19 memasuki tahun kedua di 2021. Kegiatan vaksinasi di sejumlah negara masif dilakukan, terlebih di negara yang memiliki kasus Covid-19 tinggi. Tahun 2021 bisa dikatakan menjadi tahun vaksinasi setelah Covid-19 menyerang pada akhir Desember 2019. Beberapa negara sudah ada yang berhasil menangani pandemi, salah satunya Taiwan.
Negara yang terletak di Asia Timur ini menduduki enam daftar teratas di dunia sebagai negara yang sukses atasi pandemi Covid-19 berdasarkan laporan Lowy Institue. Selain itu, Taiwan merupakan salah satu negara yang termasuk dalam destinasi pariwisata halal.
Faktor inilah yang menjadi kelebihan bagi mahasiswa Muslim rantau yang mengemban ilmu di tanah Taiwan. Dadan Sumardani (24 tahun), mahasiswa asal Banten yang kini mengambil international teaching di National Chiayi University tiba di Chiayi sejak Oktober tahun lalu. Setelah menjalani karantina selama dua pekan, Dadan bisa menjalani kegiatan perkuliahannya secara tatap muka.
Bagi Dadan, merantau di kawasan yang minoritasnya Muslim membawa tantangan tersendiri. Terlebih, saat memasuki bulan suci Ramadhan. “Dari segi spiritual mungkin cukup susah ya, pertama karena Muslim menjadi minoritas di sini. Tapi karena ada teman sesama Muslim dari Indonesia, ini bisa dijalani dengan mudah,” kata Dadan kepada Republika, belum lama ini.
Di kampusnya, ada sepuluh teman Muslim. Dadan dan teman-temannya sangat akrab dan saling mendukung terutama dalam kegiatan keagamaan. Misal, buka bersama yang diadakan di kampusnya. Mereka juga mengajak para mahasiwa Indonesia yang non-Muslim. “Kita masak bareng, buka bersama bareng, sangat terasa kekeluargaannya,” ujar dia.
Mereka juga mengadakan shalat Tarawih bersama di ruang ibadah di kampusnya. Dadan mengaku warga Taiwan sangat bersahabat bagi para Muslim. Selama tinggal di Chiayi, dia tidak pernah merasakan pengalaman tak menyenangan dari orang Taiwan asli. “Penduduk asli Taiwan menghormati kita para Muslim. Kita nggak pernah dijahili juga misalnya membeli makanan ada kandungan babi. Mereka sudah paham kalau kita nggak boleh makan babi. Ruangan ibadah juga sering dibersihkan oleh para staf kampus. Mereka menerima kita,” ucap dia.
Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan sekaligus Ketua Cabang Istimewa Muhammadiyah Taiwan, Muhammad Muslih mengatakan Taiwan merupakan salah satu nega yang ramah dengan Muslim. Ini yang membuat kebebasan beribadah seperti shalat sangat dihormati dan dijunjung.
Dia menjelaskan di seluruh Taiwan, ada banyak masjid utama seperti Masjid Istiqlal di Jakarta. Misal, di Taipei ada dua masjid utama, yaitu Taipei Grand Mosque dan Taipei Cultural Mosque yang ukurannya lebih kecil. Masjid seperti itu juga ada di beberapa kota lain, misalnya di Taichung, Tainan, dan Kaohsiung dan jumlahnya sekitar tujuh di Taiwan. Angka itu belum termasuk musholla yang diusahakan oleh para komunitas Muslim atau pekerja asal Indonesia. Untuk kegiatan selama Ramadhan, biasanya ada iftar bersama dan kajian di masjid.
“Kita akan berkumpul dengan seluruh Muslim. Makanan yang disajikan biasanya berasal dari Timur Tengah karena mayoritas di sini Muslim berasal dari sana,” kata Muslih.
Untuk kajian kata dia ada ustadz-ustadz yang datang ke masjid utama. “Sebelum pandemi, dari Muhammadiyah biasanya mengirim ustadz ke Taiwan. Ada juga dari Human Initiative. Saat Ramadhan, mereka mengirim dai yang akan keliling ke seluruh Taiwan. Selain dari Indonesia ada juga yang dari Timur Tengah cuma mereka emang sudah tinggal di Taiwan,” tutur dia.
Lebih lanjut, Muslih mengatakan ada beberapa acara yang digelar untuk mengenalkan Islam kepada warga asli Taiwan. Contohnya setelah Idul Fitri biasanya ada Halal Exhibition yang terbuka untuk umum dan kegiatan belajar tentang Islam di Taipei Grand Mosque. “Jadi setiap akhir pekan atau Jumat orang Taiwan yang ingin belajar tentang Islam atau sejarah masjid bisa. Biasanya relawan yang membantu menjelaskan dari orang Indonesia,” ucap dia.
Sementara untuk Ramadhan kali ini baru ada ada kegiatan shalat tarawih yang dilakukan. Tidak ada kapasistas jemaah atau jaga jarak tapi para jemaah wajib menggunakan masker.
Dengan jarak 3.614 kilometer dari Indonesia, terkadang Dadan merindukan euforia Ramadhan di kampung halamannya. Biasanya, dia bisa berbuka puasa atau shalat tarawih bersama keluarga dan teman-temannya. Kendati merasa sedih, Dadan menganggap suasana ini seperti bagian dari pendewasaan dirinya. Tak hanya itu, ini sebagai tantangan tersendiri dalam hal beribadah.
“Biasanya kalau di Indonesia mau puasa atau shalat tarawih karena diajak teman. Nah di sini nggak ada yang ngajak. Bisa beribadah sesuai dengan kemauan hati. Saat inilah iman kita diuji, benar-benar mau ibadah karena agama atau ajakan orang,” ujar dia.