REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak faktor yang menyebabkan seseorang muntah ketika berpuasa. Bisa karena kondisi kesehatannya yang terganggu, karena hamil, ataupun mabuk perjalanan. Sedangkan arti puasa sendiri adalah menahan dari hal-hal yang menyebabkan batalnya puasa. Seperti tidak makan dan minum, tidak memasukkan sesuatu dengan sengaja ke tubuh manusia.
Lalu, dalam kondisi puasa tersebut, apakah muntah juga termasuk yang membatalkan puasa?
Dikutip dari buku Pembatal Puasa Ramadhan dan Konsekuensinya karya Isnan Ansory menyebutkan, ulama sepakat bahwa muntah yang di luar dari kesengajaan, tidaklah membatalkan puasa. Apakah karena sebab sakit, mual, pusing atau karena naik kendaraan lalu mabuk dan muntah.
Hanya saja ulama berbeda pendapat, apabila muntah dilakukan karena terdapat unsur kesengajaan. Seperti, jika seseorang yang tengah berpuasa lalu memasukkan jarinya ke dalam tenggorokan, sehingga mengakibatkan dirinya muntah.
Apakah hal tersebut membatalkan puasanya atau tidak, menurut mayoritas ulama, puasa seseorang itu batal. Ulama empat mazhab sepakat, bahwa muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa.
Bahkan imam Ibnu al-Munzir menilai bahwa perkara ini telah pada tahap ijma’. Sebagaimana, umumnya mereka juga berpendapat bahwa, kewajiban yang dilakukan hanyalah dengan mengqadha’ puasanya.
Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda: "Siapapun yang dikalahkan oleh muntahnya (keluar tanpa kehendaknya), tidak wajib mengqadha’ (puasanya tetap sah), tetapi siapapun muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha (puasanya batal).” (HR. Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Mazhab Kedua mengatakan, puasa seseorang tidak batal. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian ulama sahabat, tabi’in, dan ulama lainnya seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ikrimah, Rabi'ah dan al-Hadi, bahwa mereka berpendapat muntah yang disengaja tidaklah membatalkan puasa.
Dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda: "Tiga hal yang tidak membuat batal orang yang berpuasa: berbekam, muntah dan mimpi (hingga keluar mani).” (HR. Tirmizi dan Baihaqi)
Hanya saja, menurut jumhur ulama, hadits tersebut dinilai dhaif, selain itu, juga masih bermakna umum. Di mana hadits ini tidak menyebutkan secara spesifik apakah muntah yang dimaksud adalah muntah dengan sengaja atau tidak. Dan karenanya, dinilai lemah untuk menjadi hadits yang dipertentangkan dengan hadits riwayat Abu Hurairah.