REPUBLIKA.CO.ID, Mudik telah menjadi tradisi masyarakat di Tanah Air. Larangan pemerintah agar tidak ada perjalanan ke luar daerah pada saat-saat terakhir Ramadhan pun disiasati warga. Tidak sedikit diantara mereka memilih mudik pada awal bulan puasa.
Jauhnya perjalanan tak jarang membuat para pemudik pun harus berbuka. Mereka memilih membatalkan ibadah puasa. Alquran memang menerangkan jika shafar atau bepergian termasuk bagian dari keringanan orang berpuasa. “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al Baqarah ayat 184).
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menjelaskan, ayat ini bisa diartikan apa adanya tanpa ada kalimat yang dibuang sama sekali. Selain itu, ayat ini bisa diartikan secara majaz bahwa yang dimaksud ialah orang sakit dan musafir. Ketika mereka berbuka, maka puasanya harus dibayar pada hari-hari yang lain.
Ulama-ulama pun mengartikan ayat tersebut bahwa seorang musafir wajib berpuasa pada hari-hari lain. Bukan ketika dia bepergian. Ulama-ulama yang mengartikan ayat tersebut secara majaz mengatakan jika seorang musafir wajib berpuasa pada hari-hari lain jika ia berbuka pada saat ia bepergian. Ini berdasarkan firman Allah SWT. “Maka bilagan itu dikerjakan di hari-hari lain.”
Mayoritas ulama membela pendapatnya berdasarkan hadis yang bersumber dari Anas Ra. “Kami bepergian bersama Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka juga tidak mencela orang yang berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim).
Anas juga menjelaskan, “Sahabat-sahabat Rasulullah SAW bepergian. Sebagian mereka tetap berpuasa, dan sebagian yang lain berbuka.” (HR Muslim).
Para ulama memang berselisih paham mengenai mana yang lebih utama apakah berbuka atau tetap berpuasa. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat jika lebih utama tetap berpuasa. Sementara itu, Imam Ahmad berpendapat lebih utama berbuka. Ulama lain ada yang berpendapat dua pilihan itu boleh diambil tanpa ada satu yang lebih utama.
Ibnu Rusyd berpendapat, kebolehan berbuka bagi orang yang berpuasa merupakan bentuk kemurahan atau keringanan untuk menghilangkan beban yang berat. Kalau itu sebagai kemurahan, maka yang lebih utama ialah tidak memanfaatkan keringanan tersebut. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadis yang bersumber dari Hamzah bi Amr al-Aslami. “Wahai Rasulullah, sungguh aku punya kekuatan untuk tetap berpuasa dalam bepergian. Apakah aku berdosa? Beliau bersabda, “Itu adalah kemurahan dari Allah. Siapa yang memanfaatkannya hal itu bagus. Dan siapa yang ingin tetap berpuasa, maka tidak ada dosa atasnya. “ (HR Muslim).
Menurut para ulama fiqih, seorang musafir tidak boleh berbuka pada hari ia keluar dari rumahnya. Ulama lain menganjurkan seorang musafir yang tahu bahwa ia akan masuk daerahnya pada awal hari, ia harus masuk dalam keadaan berpuasa. Dalam masalah ini, pendapat sebagian ulama ada yang lebih ketat daripada pendapat ulama lain. Namun, mereka semua tidak mewajibkan membayar kafarat bagi yang membatalkan puasanya.