REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Indonesia dikenal dengan negara dengan berbagai macam tradisi dan budaya yang menghiasi. Bahkan tak sedikit tradisi lokal yang digunakan sebagai medium yang diakomodasi agama selagi tidak keluar dari syariat Alquran, sunah, dan ijma ulama.
Salah satu tradisi yang mewarnai Indonesia adalah tradisi mandi junub (bebersihan) dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Seperti mandi marpangir di Sumatra Utara, mandi balimau di Sumatra Barat, mandi Padusan di Jawa, hingga mandi keramasan di Jakarta. Seluruh jenis mandi tersebut dilangsungkan jelang Ramadhan, meski terdapat perbedaan kental kekhasan dari setiap daerah.
Mandi padusan misalnya di Jawa, yang dikenal dengan mandi massal yang dilakukan masyarakat lokal Jawa Tengah dan Timur ke suatu tempat pemandian. Begitu halnya dengan mandi padusan, mandi marpangir dilakukan masyarakat Sumatera Utara dengan ciri khasnya menaburkan sejumlah wewangian yang berasal dari rempah-rempah.
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Mahbub Maafi mengatakan, ragam mandi yang terdapat di Indonesia guna menyambut Ramadhan adalah tradisi lokal yang baik. Sebab mandi sendiri dalam Islam merupakan sebuah kebaikan karena terdapat unsur kebersihan di dalamnya.
Namun demikian pihaknya menekankan, sejauh ini tidak ada dalil khusus yang menganjurkan umat Islam untuk melakukan tradisi lokal itu dalam syariat agama. “Secara pribadi saya belum menemukan dalil anjuran tentang itu, menyambut Ramadhan (dengan) mandi, enggak ada. Kalau sunah setiap malam sepanjang Ramadhan itu mandi, itu benar. Mulai Maghrib sampai Fajar dianjurkan,” kata KH Mahbub saat dihubungi Republika, Kamis (8/4).
Meski begitu, dia juga melihat bahwa menyambut Ramadhan dengan suka cita berdasarkan tradisi lokal seperti mandi adalah hal yang baik. Jika tujuannya untuk menghormati bulan suci Ramadhan, maka tentunya kegiatan tersebut dinilai boleh-boleh saja dilakukan.
Dalam kaidah fikih, KH Mahbub menjelaskan bahwa janganlah keluar dari kebiasaan manusia/masyarakat (adat-istiadat) kecuali yang diharamkan. Singkat kata, dia menekankan, tidak perlu bagi seseorang untuk menentang tradisi yang dilakukan masyarakat lokal.
Namun yang perlu digarisbawahi, kata KH Mahbub, tradisi yang baik tersebut bisa saja tidak boleh dilakukan apabila di dalamnya mengandung kerusakan. Atau beresiko merusak ibadah lainnya. Misalnya, apabila mensakralkan suatu tempat mandi tertentu yang beresiko syirik, atau mandi bersama antara laki-laki dengan perempuan dalam satu tempat.
“Ikhtilatnya yang tidak boleh,” kata dia.
Ustaz Abdul Somad pun mengutarakan pendapatnya mengenai mandi yang berciri khas tradisi lokal. Ulama yang berasal dari Pulau Emas alias Sumatra ini mengimbau kepada masyarakat di negeri Swarnadwipa (Sumatera Barat) untuk tidak melakukan tradisi mandi balimau.
Mandi yang dilakukan di sungai secara beramai-ramai itu dianggap sebagai tradisi mandi yang lebih banyak mengundang mudharat dibanding nilai ibadahnya. Mandi balimau yang memiliki akar sejarah tentang mandi taubat itu sebetulnya, kata dia, telah mengalami pergerseran pemaknaan dalam realitanya.
Sehingga mandi yang biasanya dilakukan di tepian sungai dan danau itu kerap didatangi orang-orang tanpa memedulikan jenis kelaminnya. Sehingga resiko bercampurnya laki-laki dengan perempuan dalam satu wadah permandian dinilai dapat mengundang mudharat bagi yang melaksanakan. Dia pun mengimbau kepada masyarakat setempat bila hendak mandi taubat untuk melakukannya dari rumah masing-masing.