REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Situasi berbeda pada perayaan Idul Fitri tahun ini harus dimaknai dengan rasa syukur. Misalnya dengan masih berlangsungnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PBB), mayoritas umat Muslim disebut sebagai kaum sufi baru.
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre, Rakhmad Zailani Kiki menjelaskan, kaum sufi baru ini adalah masyarakat Islam yang hidup di tengah pandemi Covid-19 yang mau tidak mau, siap atau tidak siap, harus mengamalkan ajaran sufi dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu agar kehidupannya tetap berjalan, merasakan ketenangan batin, dan tetap merasakan kebahagiaan walau dalam keterbatasan.
"Dari keadaan ini, kita menjadi lebih Qana'ah atau merasa cukup, tawakkal atau menyandarkan segala sesuatu kepada Allah SWT untuk kepentingannya sehingga melahikan sikap husnudzhan. Sikap zuhud dan wara bukan lagi menjadi ucapan tetapi menjadi perilaku dari masyarakat sufi baru ini," kata Rakhmad dalam siaran pers yang diterima Republika, Ahad (24/5).
Dalam Idul Fitri 1441 Hijriyah di tengah PSBB, dia menilai hal itu tentu memiliki makna berbeda bagi umat Islam. Takbir yang bergema bukan lagi terpusat di masjid-masjid, musholla-musholla, tetapi di rumah-rumah, begitu pula shalat Idul Fithri yang dilangsungkan.
Kesederhanaan di saat Idul Fithri juga nampak di kebanyakan umat Islam, terutama di lapisan bawah dan juga lapisan menengah, karena memang hidup harus berhemat di tengah perekenomian yang ikut lesu.
Tak lupa karena adanya PSBB, tidak banyak aktivitas saling kunjung mengunjungi dari umat Islam untuk bermaaf-maafan yang membuat tuan rumah perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk berpenampilan dengan pakaian yang baru dan mahal serta makanan yang berlimpah untuk para tamu. Dia menilai, hal ini sebelumnya kerap terjadi di perayaan hari raya Idul Fitri sebelum-sebelumnya.
Untuk itu dia menilai, puasa dan kesederhanaan merayakan Idul Fitri 1441 Hijriyah ini karena pandemi Covid-19 sesungguhnya cermin dari kebangkitan masyarakat baru, masyarakat Islam, yaitu kebangkitan kaum sufi baru. Namun menurut seorang ulama sufi Betawi terkemuka, KH Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan, di dalam makalahnya yang berjudul Krisis Keimaman dan Keadaban Islami, orang yang dijuluki Sufi adalah apabila seorang Mukmin, Muslim, muhsin, sungguh-sungguh dengan jujur mengaktualisasi iman, Islam dan ihsannya.
Yakni dengan menggunakan tolok ukur keteladanan Rasulullah SAW. Menurutnya, sufisme bukan ditandai dengan kekumuhan, kelusuhan, tarian, lirik syair, atau sikap kontroversial dan kontraproduktif yang dituduhkan kebanyakan orang. Seorang kepala negara, sultan, raja, perdana menteri, menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, mandor, konglomerat, pengusaha, kyai, ustaz, muballigh, supir, kernet, pedagang kaki lima-asongan, pengamen, ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar atau pengangguran sekalipun, kata dia, mereka dapat menjadi seorang sufi yang baik, sejauh mengimani dan membuktikan keimanannya bahwa jiwa dan harta mereka adalah dari Allah, diperoleh karena rahmat Allah dan bermanfaat di jalan Allah.
Dia berpendapat, mengutip KH Abdurrahim, sufi merupakan sosok yang memiliki keadaban Islami. Sedangkan keadaban Islami merupakan Sunnatullah, sebuah gerak dinamika kehidupan yang memiliki kepastian hukum secara Qurani yang harus dijaga keutuhan pertumbuhan dan perkembangannya oleh setiap pribadi Muslim dalam mengisi dan memberi nilai murni pada upaya penegakan hukum-hukum Allah di muka bumi.
Namun dia menjelaskan, sufisme bukanlah agama dan tidak akan dijadikan sebagai agama oleh para pengikutnya. Maka keberadaan kaum Sufi di berbagai lini kehidupan sosial dan kebangsaan, tidak menjajakan komoditas atau melakukan launching atau pemasaran produk baru keagamaan. Mereka adalah siapapun yang mewarisi dan hidup segaris dengan Kenabian.
"Mereka adalah kaum tengah yang santun dan tidak menyemai ambisi kekuasaan," ungkapnya.
Untuk itu dia melihat, kaum sufi baru di masa pandemi Covid-19 harus memilki kecerdasan sufistik yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari penggalian, pembangunan, dan pengembangan keeadaban Islami. Kecerdasan sufistik ini sangat diperlukan dalam menyikapi tajam keadaan potensialitas-impotensialitas umat, dengan terus menyeruak ke tengah-tengah masyarakat untuk memberi warna kehidupan yang teduh dan pasti di tengah kegalauan, kegelisahan dan stress yang sedang melanda bangsa ini karena pandemi Covid-19.