Tradisi Bangunkan Sahur yang Bertahan di Gaza Meski Pandemi

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah

Rabu 20 May 2020 18:31 WIB

Tradisi membangunkan sahur masih bertahan di Gaza meski pandemi. Ilustrasi membangunkan sahur di Palestina. Foto: ABED AL HASHLAMOUN/EPA EFE Tradisi membangunkan sahur masih bertahan di Gaza meski pandemi. Ilustrasi membangunkan sahur di Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA STRIP – Terlepas dari kemajuan teknologi modern saat ini, Abdel Khaleq Abu Atwan memilih untuk terus memukul drum sebagai tradisi Ramadhan kuno di Palestina. 

Setiap tahunnya selama bulan suci Ramadhan, penata rambut sekaligus ayah dari tiga orang anak ini mengambil peran sebagai musaharati. Ini merupakan julukan yang diberikan kepada orang yang berjalan di daerah perumahan, dengan tujuan membangunkan umat Muslim di waktu sahur.  

Baca Juga

Kegiatan ini merupakan kebiasaan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi, dan menjadi bagian Ramadhan yang telah mengakar bagi banyak Muslim.  

Ketika Abu Atwan berkeliaran di jalan-jalan sebelum shalat subuh, orang dewasa dan anak-anak sering keluar dari rumah mereka atau mengintip dari jendela, untuk menyaksikannya lewat dengan memukul genderangnya sambil mengucapkan doa. 

Meskipun saat ini perkembangan teknologi modern dapat diandalkan untuk mengingatkan umat Muslim waktu sahur, banyak komunitas di Palestina masih mengikuti cara-cara tradisional yang telah turun-temurun dilakukan.  

Dikutip di Arab News, Abu Atwan telah berperan sebagai musaharati di lingkungannya, di sebelah barat kota Rafah, Jalur Gaza selatan, selama tujuh tahun terakhir.  

Selama berkeliling, dia selalu mengenakan kostum tradisional Palestina, bersama dengan topi merah dan syal putih. Dengan berjalan kaki, dia mengelilingi kompleks sembari memukul gendangnya selama 90 menit. Setelahnya dia kembali ke rumah untuk makan sahur bersama keluarga. "Saya senang melakukan peran ini. Saya dapat melihat interaksi dan penghargaan dari orang-orang," ujar Abu Atwan dikutip di Arab News, Rabu (20/5).  

Ketika dia melafalkan nyanyian atau puji-pujian tentang pentingnya puasa dan menyembah Allah SWT, maupun semboyan dan slogan yang mendorong persatuan dan saling ketergantungan nasional, dia dapat melihat semangat di mata orang-orang yang memperhatikannya.  

Adanya komputer, TV, dan perkembangan teknologi lainnya diakui telah mengubah kebiasaan dan gaya hidup banyak orang. Namun, peran musaharati masih dihormati dan telah mempertahankan popularitasnya di banyak komunitas.  

Blokade Israel dan kekacauan politik telah mempengaruhi semua aspek kehidupan bagi 2 juta warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza. Meski demikian, Abu Atwan mencatat masalah-masalah ini tidak mengurangi antusiasme bagi musaharati.  

Karena wabah penyakit Covid-19, Abu Atwan menyaksikan penurunan dramatis dalam bisnis salon penata rambutnya. Meski pekerjaannya sebagai musaharati bersifat sukarela, dia mengatakan kadang-kadang menerima uang dan hadiah lain dari orang-orang untuk menghormati perannya, yang membantu dalam memburuknya iklim ekonomi.  

Selama menjalankan perannya saat Ramadhan, Abu Atwan didampingi temannya, Mohammad Shaath. Pria berusia 25 tahun ini menyebut, dia merasa senang bisa membawa senyum ke wajah orang-orang sambil melantunkan nyanyian rohani dan slogan keagamaan. Shaath menambahkan, ritual musaharati adalah salah satu fitur paling penting dari Ramadhan.