WFH Bikin Gabut: Gaji Utuh Kerjaan Berkurang, Apa Hukumnya?

Red: Karta Raharja Ucu

Senin 11 May 2020 14:21 WIB

Ustadz Oni Sahroni menrangkan soal bolehkah gaji utuh tetapi kerjaan berkurang selama work from home. Foto: Republika TV Ustadz Oni Sahroni menrangkan soal bolehkah gaji utuh tetapi kerjaan berkurang selama work from home.

REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh Ustadz Dr Oni Sahroni MA

Jawaban atas bahasan ini tidak bisa direspons dengan iya atau tidak, boleh atau tidak boleh. Sebab, domain fikih itu merumuskan batasan-batasan yang bisa dijadikan pedoman bagi pelaku industri dan otoritas untuk menentukan boleh atau tidak dan bagaimana caranya.

Lebih tepatnya, bahasan ini didasarkan pada kaidah-kaidah fikih muwazanah yang berisi kaidah untuk memilih opsi paling minim risikonya, tetapi diperkenankan secara syariah di antara pilihan-pilihan lain yang tidak ideal. Pada saat yang sama, fikih yang didasarkan pada hitam putih itu tidak menjadi referensi dalam menentukan ketentuan hukum, khususnya saat pandemi Covid-19 seperti ini.

Di antara kaidah yang harus ditunaikan saat menentukan volume pekerjaan, baik work from home (WFH) ataupun work from office (WFO) dan besaran kompensasinya (baik gaji) saat pandemi Covid-19 ini adalah sebagai berikut:

Pertama, merujuk kepada kesepakatan kedua belah pihak sebagaimana peraturan perundang- undangan terkait, yang menegaskan kebijakan untuk menentukan besaran gaji beserta kompensasinya itu diserahkan kepada kesepakatan antara perusahaan dan karyawan. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW. Dari `Amr bin `Auf ...Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. (HR Tirmidzi).

Berdasarkan hadis ini, maka kesepakatan kedua belah pihak itu menjadi referensi. Apa pun hasil kesepakatan, berapa pun kompensasi beserta pekerjaan yang harus dilakukan oleh karyawan itu mengikat. Pasalnya, kesepakatan adalah indikator dari kerelaan masing-masing pihak.

Teknisnya, kesepakatan itu bisa berbentuk hasil musyawarah, masing-masing pihak menyetujui besaran gaji beserta kompensasinya, atau pihak perusahaan dipandang berhak menawarkan volume tertentu berdasarkan maslahat para karyawan dan aspek keadilan.

Kedua, mempertimbangkan maslahat kondisi atau keberlangsungan perusahaan, sebagaimana salah satu maqashid (target) usaha, yaitu mendapatkan keuntungan maksimum dengan cost yang minimum, dan sebagaimana kaidah fikih al-aslu fi al-istirbahi al-hurriyah (pada prinsipnya kaidah yang berlaku dalam mendapatkan keuntungan itu bebas atau tidak terikat).

Ketiga, memenuhi aspek keadilan. Kebijakan perusahaan untuk menentukan besaran gaji beserta kewajiban karyawan itu adil. Salah satunya dengan memastikan bahwa kebijakan tersebut walaupun dalam kondisi keterbatasan imbas dari pandemi clCovid-19, itu tidak menzhalimi/l atau merugikan para karyawan. Sebagaimana firman Allah SWT, ... Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.... (QS al-Maidah: 8).

Keempat, mempertimbangkan maslahat karyawan, khususnya jika perusahaan menentukan kebijakan, perusahaan menawarkannya kepada karyawan. Sebagaimana kaidah, Bahwa kebijakan otoritas terhadap masyarakat didasarkan pada pemenuhan hajat masyarakat. (Al-Asybah wa Annazhair, Ibnu Nujaim, hal 124). Karena itu, peran otoritas untuk mengatur, mengendalikan dan mengawasi kebijakan perusahaan itu menjadi keniscayaan. Wallahu a'lam.

Terpopuler