Kisah Meninggalnya Ali bin Abi Thalib di Bulan Ramadhan

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil

Kamis 30 Apr 2020 05:07 WIB

Kisah Meninggalnya Ali bin Abi Thalib  di Bulan Ramadhan. Foto: Ilustrasi Sahabat Nabi Foto: MgIt03 Kisah Meninggalnya Ali bin Abi Thalib di Bulan Ramadhan. Foto: Ilustrasi Sahabat Nabi

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Ali merupakan sepupu dan menantu dari Nabi Muhammad SAW. Ali adalah khalifah pertama dari kalangan Bani Hasyim. Ayahnya adalah Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf, dan ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf.

Ali dilahirkan di dalam Ka'bah dan mempunyai nama kecil Haidarah. Untuk meringankan beban Abu Thalib yang mempunyai anak banyak, Rasulullah SAW merawat Ali. Sejak saat itu Ali tinggal bersama Rasulullah di rumahnya dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama.

Baca Juga

Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan brilian. Kesederhanaan, kerendah-hatian, ketenangan dan kecerdasannya yang bersumber dari Alquran dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah SAW lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah SAW kian erat, ketika ia menikahi Fathimah, anak perempuan Rasulullah yang paling bungsu.

Dari segi agama, Ali bin Abi Thalib adalah seorang ahli agama yang faqih di samping ahli sastra yang terkenal, antara lain lewat bukunya "Nahjul Balaghah".

Syahidnya Utsman bin Affan membuat kursi kekhalifahan kosong selama dua atau tiga hari. Banyak orang, khususnya para pemberontak, mendesak Ali untuk menggantikan posisi Utsman. Para sahabat Rasulullah SAW juga memintanya, akhirnya dengan sangat terpaksa Ali menerima jabatan sebagai khalifah keempat.

Mungkin karena suasana peralihan kekhalifahan kini penuh dengan kekacauan, para pemberontak yang menyebabkan syahidnya utsman masih merajalela dan membuat onar. Sementara ada banyak orang yang menuntut ditegakkannya hukum bagi pembunuh Utsman.

Situasi saat itu membuat Ali sulit untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Usahanya membuat penyegaran dalam pemerintahan dengan memberhentikan seluruh gubernur yang pernah diangkat Utsman, malah memicu konflik dengan Muawiyah.

Di sisi lain, muncul konflik antara Ali dan beberapa orang sahabat yang dikomandani oleh Aisyah, Ummul Mukminin. Puncak konflik ini menyebabkan meletusnya Perang Jamal (Perang Unta). Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai unta. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang berada di pihak Aisyah gugur, sedangkan Aisyah tertawan.

Pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah mengakibatkan pecahnya Perang Shiffin pada 37 H. Pasukan Ali yang berjumlah sekitar 95 ribu orang melawan 85 ribu orang pasukan Muawiyah. Ketika peperangan hampir berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Namun sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash mengangkat mushaf Alquran menyatakan damai.

Terpaksa Ali memerintahkan pasukannya untuk menghentikan peperangan, dan terjadilah gencatan senjata. Akibat kebijakan Ali itu, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Kelompok yang tetap mendukungnya. Kelompok yang menyatakan mengundurkan diri. Dan kelompok Khawarij yang memisahkan diri serta menyatakan tidak senang dengan tindakan Ali.

Kelompok ketiga inilah yang akhirnya memberontak, dan menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Ali sebagai khalifah, Muawiyah sebagai penguasa Suriah dan Amr bin Ash sebagai penguasa Mesir. Mereka berencana membunuh ketiga pemimpin itu.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, mereka menyuruh Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah, Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di Mesir dan Hujaj bin Abdullah ditugaskan membunuh Muawiyah di Damaskus.

Hujaj tidak berhasil membunuh Muawiyah lantaran dijaga ketat oleh pengawal. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja membunuh Kharijah bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amr bin Ash sedang sakit sehingga yang menggantikannya sebagai imam sholat adalah Kharijah. Akibat perbuatannya, Kharijah pun dibunuh pula.

Sedangkan Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali yang saat itu tengah menuju masjid. Beliau gugur sebagai syuhada di dekat pintu masjid Kufah.

Saat itu Ali sedang bersiap untuk melaksanakan sholat fajar, setelah melewati jalan-jalan kota untuk membangunkan penduduk. Dia memanggil mereka dengan suaranya yang mulia, "Bangunlah wahai kaum muslimin, marilah kita sholat, semoga Allah memberi kalian rahmat,".

Saat itu dengan mengendap-endap di kegelapan malam, Abdurrahman bin Muljam mendekati Ali. Ali saat itu tidak memiliki pengawal sehingga pembunuhan gelap terhadapnya tentu hal yang mudah, tidak membutuhkan waktu dan keberanian lebih.

Saat itu juga, dia menikam Ali bin Abi Thalib. Amirul Mukminin telah menemui sang Khaliq karena tusukan pedang beracun seperti halnya Umar bin khatab.

Setelah bagian kepala Ali ditetak dengan pedang, ia segera dibawa kerumahnya. Ketika dia harusnya meminta pertolongan, Ali justru meminta orang-orang yang membawanya untuk kembali ke masjid melaksanakan sholat fajar sebelum habis waktunya.

Pembunuhan tersebut terjadi pada Jumat Subuh 18 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Khalifah Ali wafat pada Sabtu, 19 Ramadhan 40 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.