Puasa Ramadhan Bagi Wanita Hamil dan Menyusui

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil

Kamis 02 Apr 2020 14:41 WIB

Puasa Ramadhan bagi Wanita Hamil dan Menyusui. Foto: Ibu Hamil (Ilustrasi) Foto: Pixabay Puasa Ramadhan bagi Wanita Hamil dan Menyusui. Foto: Ibu Hamil (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukum berpuasa bagi seorang umat pada bulan Ramadhan adalah wajib, terutama bagi mereka yang sudah memasuki masa baligh, berakal, tidak sedang dalam perjalanan (musafir), dan tidak sakit. Sementara itu, hukumnya bagi Muslimah wajib jika sedang suci dari haid dan nifas.

Hukum wajib berpuasa ini juga berlaku bagi wanita yang sedang dalam keadaan hamil dan menyusui. Bila kondisi Muslimah ini sehat, tidak lemah, tidak sakit-sakitan, dan tidak memiliki kekhawatiran akan kondisi janin yang dikandung atau anak yang disusui serta dirinya sendiri; Muslimah tersebut wajib berpuasa.

Baca Juga

Kondisi fisik seorang wanita yang sedang hamil dan menyusui memang cenderung berbeda dengan kondisi wanita yang tidak pada kondisi tersebut. Kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi buah hati untuk ibu hamil sekitar 2.200-2.300 kalori per hari. Sementara itu, bagi Muslimah yang menyusui dibutuhkan sekitar 2.200-2.600 kalori.

Kondisi ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi ibu dalam menghadapi puasa pada bulan Ramadhan. Ada yang merasa baik-baik saja dan ada yang dalam kondisi tidak kuat atau mengkhawatirkan jika harus berpuasa.

Nabi SAW dalam HR Ahmad bersabda, "Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil, dan wanita menyusui."

Dalam menanggapi apakah ibu yang tidak puasa ini memiliki kewajiban mengqadha atau membayar fidyah, ada banyak pendapat tentang hal ini. Menurut pendapat pertama dari Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Ahmad; Muslimah hamil dan menyusui yang tidak puasa saat bulan Ramadhan wajib mengqadha dan memberi makan kepada orang miskin sesuai dengan hari puasa yang ia tinggalkan.

Pendapat kedua dari al-Auza'i, ats-Tsauriy, Abu Hanifah, dan murid-muridnya. Mereka berpendapat Muslimah hamil dan menyusui cukup mengqadha atau mengganti puasa pada hari lain. Pendapat ketiga dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ishaq, dan Syekh al-Albani yang menyatakan cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengganti puasa.

Pendapat lainnya dari Imam Malik dan ulama Syafi'iyah yang menyatakan mengqadha hanya bagi wanita hamil, sementara mengqadha serta memberi makan bagi orang miskin untuk wanita yang menyusui sesuai hari ia tidak puasa. Terakhir, pendapat dari Ibnu Hazm yang menyebut tidak perlu mengqadha maupun memberi makan orang miskin.

Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarud dalam al-Muntaqho dan al-Baihaqi berkata, "Keringanan dalam hal ini bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan. Pada saat ini tidak ada qadha bagi mereka. Kemudian, hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” Namun, hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian, bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.

Dari Nafi' dikisahkan Ibnu Umar pernah membahas tentang kondisi ini. Dalam Irwa'ul Gholil (4/20) disebutkan, "Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa pada bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian, Ibnu Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan."

Adapun cara membayar fidyah adalah ukurannya setengah sho' kurma, gandum, atau beras sebagaimana yang biasa dimakan oleh keluarganya. Ukuran satu sho' sama dengan sekitar 2,5 hingga 3 kg.

Adapun cara menunaikannya adalah memberi makanan pokok yang biasa ia makan kepada orang miskin. Jika ia memiliki utang puasa selama tujuh hari, ada tujuh orang miskin yang setiap orang diberi 1,5 kg kurma/beras/gandum.

Cara kedua adalah membuat suatu hidangan makanan seukuran fidyah yang menjadi tanggungannya, lalu mengundang orang miskin dan memberi mereka makan hingga mereka merasa kenyang. Misalkan, ia memiliki utang lima hari puasa, undanglah lima orang miskin untuk diberi makan. Lebih bagus jika makanannya ditambah dengan lauk dan sayur.

Membayar fidyah ini tidak sah bila dilakukan dengan memberi uang. Adapun waktu pembayaran fidyah adalah hari itu ketika tidak melaksanakan puasa atau boleh juga diakhirkan hingga akhir bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik. Tidak boleh pembayaran fidyah ini dilakukan sebelum Ramadhan.