REPUBLIKA.CO.ID, AGAM--Beribadah selama bulan Ramadhan sudah ditunggu-tunggu oleh umat Islam di dunia, tak terkecuali warga Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Di Bingkudu, terdapat sebuah masjid klasik yang sudah berusia ratusan tahun yakni Masjid Raya Bingkudu.
Masjid ini dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat hanya dengan waktu kurang lebih setengah jam dari Kota Bukittinggi. Dari Jalan Bay Pass Bukittinggi, kita dapat berbelok ke Jalan Raya Batusangkar menuju Canduang. Begitu tiba di Canduang kita akan mudah menemukan Masjid Bingkudu. Karena tak ada masyarakat Candung yang tak tahu dengan Masjid Bingkudu.
Arizal Malinkayo (65 tahun) mengatakan dirinya sudah sejak kecil mendatangi masjid Bingkudu untuk sholat lima waktu, belajar baca tulis Alquran, belajar ilmu agama dan menyimak aneka pengajian Islam. Arizal mengatakan ia sudah merindukan suasana Ramadhan di masjid Bingkudu. Sebab bagi Arizal, suasana Ramadhan di masjid klasik ini berbeda dengan hari-hari biasa.
"Bulan Ramadhan ini kan ibadah kita terasa lebih khusuk. Semua kita jamaah tentu saja merindukan hal itu," kata Arizal.
Arizal yang sehari-hari berprofesi sebagai petani mengatakan di hari-hari biasa, ia datang ke masjid Bingkudu untuk solat berjamaah lima waktu dan ikut forum tafsir Quran bersama ustadz setiap selesai solat maghrib menjelang isya. Dalam forum tersebut, Arizal dapat mengulang-ulang hafalan ayat Alquran dan memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Nanti ketika sudah Ramadhan, forum tafsiran ini akan digeser ke ba'da solat subuh. Karena ba'da maghrib jamaah berbuka dan ba'da isya ada pengajian atau ceramag agama dilanjut dengan solat sunah tarwih berjamaah.
Pengurus Masjid Bingkudu, Arman (51) mengatakan di bulan puasa, animo masyarkat Canduang datang ke masjid lebih tinggi dari hari-hari biasa. Karena di masjid ini juga ada pesantren Ramadhan bagi anak-anak sekolah. Dan sholat berjamaah lima waktu juga lebih ramai dari hari-hari biasa. Arman menyebut Masjid Bingkudu juga kerap didatangi jamaah dari jauh untuk melakukan wisata rohani. Karena masjid Bingkudu sudah punya sejarah yang cukup panjang.
Arman menceritakan pembuatan masjid ini memakan waktu dan tenaga cukup banyak. Kayu-kayu yang digunakan buat tiang, dinding dan lantai masjid didatangkan dari hutan di kawasan Tabek Patah, Tanah Datar. Dari Tabek Patah, digotong bersama-sama menuju Canduang. Agar kuat dan awet dalam jangka waktu lama, kayu buat tiang masjid ini direndam di dalam air selama berbulan-bulan. Barulah kemudian proses pembangunan dilakukan secara bersama-sama.
Arman menyebut karena proses pembuatan masjid ini serba manual, makanya Masjid Bingkudu dijadikan sebagai salah satu cagar budaya yang tak boleh diubah-ubah, kecuali mengganti bagian yang rusak. Hingga sekarang, bagian dinding, dan lantai masjid ini tidak satupun menggunakan paku.
Sistem pemakuan yang dipakai masyarakat Minang zaman dahulu untuk mendirikan bangunan adalah memakai pola samek atau klep yang juga dibuat dari papan. Karena itulah menurut Arman, bangunan masjid ini tetap kuat walau sudah lebih satu abad dan tidak roboh saat terjadi gempa besar.
"Membuatnya ini serba manual. Dengan tangan masyarakat, dan tidak satupun menggunakan paku," ujar Arman.
Masjid Raya Bingkudu memiliki denah berukuran 21x21 meter. Lantai Masjid terbuart dari kayu surian yang membujur dari arah barat ke timur. Arman mengatakan lantai masjid ini sudah mengalami beberapa kali pergantian.
Bagian yang belum pernah diganti sama sekali adalah tiang dan dinding. Di dalam ruang utama masjid terdapat 25 buah tiang. Tiang utama terletak di tengah-tengah ruang utama masjid yang terbuat dari beton berbentuk segi 12 dan berdiameter 1,25 meter. Di sekililing tiang utama terdapat 24 buah tiang kayu berbentuk segi 16 yang diameternya berukuran antara 20–45 cm.
Bagian atap masjid dulunya terbuat dari ijuk. Sejak 2015, atap masjid ini sekarang sudah dari seng dengan motif genteng. Menurut Arman, pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dan pengurus masjid sepakat untuk tidak lagi menggunakan ijuk buat atap masjid karena rawan terbakar.
Mihrab di dalam masjid juga merupakan benda kuno yang usianya sudah cukup panjang. Mihrab Masjid berwarna emas ini bertuliskan angka 1316 Hijiriah atau 1906 Masehi. Arman mengatakan Mihrab di dalam masjid Bingkudu ini merupakan buatan Eropa yang diberikan ke pengurus masjid di zaman kolonial Belanda. Begitu juga dengan lampu hias yang bergelantungan dari loteng masjid juga merupakan benda kuno yang kerap menjadi incaran para kolektor barang antik.
"Makanya sekarang masjid ini kami pakaikan CCTV. Benda-benda di sini banyak diincar maling untuk dijual ke penadah barang antik," ujar Arman.