REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan adalah bulan menahan nafsu kebinatangan dan kesetanan seperti syirik, sombong, dengki, brutal, kekerasan, dan vandalisme yang seringkali merusak fitrah kemanusiaan. Seseorang yang kembali kepada fitrahnya, mempunyai makna berada dalam kesucian dan keyakinan asli sebagaimana saat ia dilahirkan.
Guru Besar bidang Psikologi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Achmad Mubarok mengatakan fitrah manusia tercermin dalam tindakan berpuasa seperti menahan diri, bekerja sama, saling berbagi, dan menyebarkan kebaikan. Semangat Ramadan harus menjadikan manusia Indonesia kembali ke fitrah kemanusiaan dan fitrah kebangsaan sebagai warga negara yang mencintai perdamaian, bergotong royong, dan mengukuhkan persatuan.
“Karena secara sosial kita semangatnya memberi. Karena psikologi Rahma itu pertama, penuh perhatian kepada orang, kedua, semangat ingin memberi, ketiga, memaklumi kekurangan orang, keempat, memaafkan kesalahan orang. Itu secara sosial. Jika orang seperti itu maka dia akan mengarah kepada Fitrah,” ujar Achmad Mubarok, Selasa (28/5).
Sedangkan kalau secara rasional menurutnya, ada ketertiban yang mesti dijaga. Yang kesemuanya itu bagi kita harus mempunyai rasa keadilan. Karena kalau rasa keadilan itu tercabut tentunya akan memancing orang untuk berbuat anarki atau munafik.
“Jadi yang namanya cinta tanah air itu bagian dari iman itu adalah khas Indonesia. Kemudian patuh kepada pimpinan. Tetapi pimpinan itu akan dipatuhi jika dia kontribusinya jelas dan amanah. Maka itu akan ada rasa saling mengisi dan memiliki fungsi.. Karena pemimpin yang dipatuhi secara alamiah yaitu matahari, untuk itulah dibutuhkan ‘matahari’ bangsa,” kata pria kelahiran Purwokerto, 15 Desember 1945 ini.