REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Anjar Nugroho mengajak seluruh umat Islam memanfaatkan momentum Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1440 Hijriyah dengan bersilaturahim dan saling memaafkan.
"Pasca-Ramadhan, kita akan memasuki bulan Syawal. Di awal bulan ini ada hari Raya Idul Fitri, sebuah perayaan kegembiraan dan kebahagiaan. Dalam tradisi di Indonesia, Idul Fitri dimanfaatkan untuk silaturahim kepada sanak keluarga dan para sahabat serta teman sambil saling mengucapkan selamat Idul Fitri dan saling maaf-memaafkan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, jika Ramadhan merupakan waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Allah SWT, maka Syawal dengan Idul Fitrinya adalah waktu menjalin silaturahim dengan sesama.
"Apakah kita telah sungguh-sungguh dalam melaksanakan silaturahim? Apakah kita telah betul-betul tulus dalam saling maaf-memaafkan? Ini pertanyaan mendasar untuk evaluasi diri sehingga makna Idul Fitri yang identik dengan silaturahmi tidak semata-mata ritual sosial formalitas belaka, tapi sangat kering dengan substansi dan makna," katanya.
Ia mengatakan silaturahim yang bersifat formalitas dapat digambarkan dengan masih adanya dendam di dalam hati, menyimpan kebencian, dan iri hati yang pada akhirnya seperti tidak pernah silaturahim dan saling memaafkan.
Selain itu, dapat digambarkan pula dengan hubungan masih seperti hari-hari sebelumnya yang suka menyakiti orang lain, gemar memfitnah, rajin menjelek-jelekkan, serta menyalahkan orang lain sehingga seolah-olah dirinya paling benar dan bersih.
"Mengapa kita masih merasa benar dan selalu orang lain yang salah? Analisis seorang ahli psikologi sosial, Les Giblin, dalam bukunya The Art of Deaking With People, menyatakan seseorang akan cenderung menyalahkan orang lain karena ia masih belum mampu mengatasi ketidakpuasan yang menyakitkan diri sendiri. Orang tersebut, yang berarti juga kita termasuk di dalamnya, ada masalah dalam dirinya," kata Anjar.
Menurut dia, orang tersebut juga merasa masih banyak hal-hal yang belum terpenuhi, padahal karunia Allah telah melimpah kepadanya. "Ini adalah masalah kesyukuran. Rumus sederhananya, makin kita banyak bersyukur, hati kita akan semakin dekat dengan kebahagiaan, dan jika hati sudah bahagia maka relasi sosial kita akan semakin baik, akan selalu berpandangan positif kepada orang lain seperti yang diajarkan Allah dalam Alquran," katanya.
Dia mengatakan meminta maaf dan memberi maaf membutuhkan ketulusan yang didasari manusia tidak bisa terlepas dari salah dan khilaf. Menurut dia, tidak ada manusia di muka bumi ini yang tampil sempurna tanpa salah sehingga jika ada orang lain yang bersalah, tidak ada alasan tidak memaafkannya.
"Oleh karena itu, jika ada orang lain yang salah kepada kita, tidak ada alasan tidak memaafkan, karena pada sisi yang lain kita juga pernah salah kepada orang lain. Memaafkan orang lain adalah jalan kita untuk menghapus dosa-dosa kita kepada orang lain. Permohonan maaf kita kepada orang lain adalah bentuk kejujuran kita bahwa kita adalah manusia yang penuh dengan salah karena meminta maaf atau memberi maaf tidak berarti akan merendahkan harga diri kita, justru akan mendudukkan kita pada sisi yang lebih mulia," katanya.