Oleh: Fahmi Mada, Jurnalis Senior asal Aceh.
Uroe get buleun get
Timphan ma peugét han ta teumeung rasa. (Hadih Maja)
Tragis banget nasib orang Aceh di Republik ini. Ketika kami yang tinggal di Ibukota hendak merayakan Idul Fitri di tanah leluhur kami, ingin menyicipi daging makmeugang masakan ibu kami, ingin merasakan nikmatnya timphan buatan ibu kami.
Hari raya Idul Fitri adalah ritual yang selalu menyatukan kami. Dari berbagai penjuru dunia, kami pulang, bertemu, memeluk dan mencium lutut orang tua kami tanda sembah sujud anak kepada orang tua. Bersuka cita ketika bersua dengan saudara kami lain di kampung halaman.
Gara-gara tiket, tepatnya harga tiket pesawat dalam negeri yang melambung tinggi sejak akhir 2018. Harga tiket sekarang adalah malapetaka terbesar dalam kehidupan kami, orang Aceh di negeri ini.
Orang-orang tua kami yang usianya sudah renta di kampung begitu rindu menantikan kami pulang, membawa istri dan anak-anak kami. "Nak! Pulanglah kamu, bawalah cucu mamak. Mamak rindu bertemu mereka. Ini hari baik dan bulan baik nak," demikian suara lirih itu terdengar dari ujung sana.
Penerbangan langsung Jakarta - Banda Aceh sekarang dipatok pada angka 3,5 juta lebih per orang untuk sekali jalan. Asumsikan saja satu keluarga itu lima orang, harus merogoh dompet sebesar 17,5 juta untuk sekali jalan. Setidaknya pergi dan pulang menembus angka 35 juta rupiah untuk urusan tiket.
Sungguh berat hidup rakyat Aceh di Republik ini. Bila mereka yang punya urusan dengan kantor-kantor pemerintah di Jakarta akan berpikir dua kali. Entah sampai kapan "cobaan" ini akan kami alami.
Seorang kawan bercerita, bila hendak mudik ke Aceh siasatilah lewat Kuala Lumpur. Naiklah maskapai swasta Malaysia, tiketnya paling mahal Rp 1,5 juta, itu sudah termasuk harga bagasi.
Namun persoalan tidak sesederhana itu, terbang ke Aceh lewat KL disyaratkan memiliki paspor. Ini terasa agak miris, pulang ke kampung sendiri, tanah air sendiri harus menggunakan paspor. Dimana harga diri kita sebagai anak bangsa.
Kepedihan dan airmata makin mengalir deras ketika membayangkan suara takbir di meunasah-meunasah. Terbayang wajah-wajah ibu kami yang memasak timphan dalam tungku di dapur dengan api kayu yang membara.
Benar pesan Hadih Maja - Peribahasa - dalam kehidupan masyarakat Aceh, "Uroe get buleun get, timphan ma peuget han ta teumeung rasa." (Di hari baik bulan baik, timphan bikinan ibu tak bisa dicicipi). Selamat Idul Fitri!