Dari Referendum Hingga Meugang: Aceh Yang Tak Terlupakan

Red: Muhammad Subarkah

Sabtu 01 Jun 2019 17:00 WIB

Suasana tradisi Meugang di Aceh. Foto: Fami Mada Suasana tradisi Meugang di Aceh.

Oleh: Fahmi Mada, jurnalis senior dan Gastrology, tinggal di Jakarta.

Di akhir Ramadhan 2019 nama Aceh mendadak 'melangit' terkait soal polemik referendrum yang diucapkan Mudzakir Manaf (Muallem). Orang biasa hingga pejabat penting negeri ini membicarakannya. Ada  yang berkata penuh emosi namun ada yang menanggapinya dengan sikap wajar saja.

Namun di luar soal itu, sebenarnnya ada warisan budaya yang  berlangsung dan terus terjaga di tanah leluhur saya itu hingga kini. Ritual yang sudah turun temurun dari para leluhur yang sudah berbilang ratusan tahun. Ritual tersebut dikenal dengan nama "Meugang" atau ada juga yang menyebutnya "Makmeugang".

Bila hari Meugang berlangsung serentak seluruh  Aceh. Pasar-pasar dipenuhi pedagang yang menjual daging sapi atau kerbau. Warga keluar dari rumah datang ke pusat keramaian. Mereka  membeli daging menurut kemampuan ekonomi yang dimikinya.

Sekembalinya dari pasar, ibu-ibu segera membersihkan daging dan memasaknya dengan aneka bumbu kari khas Aceh yang penuh rempah. Tidak satu jenis masakan saja, bisa lima sampai tujuh varian, tergantung jumlah daging yang mereka beli. Dan, seantero kampung pun dipenuhi wangi rempah bau masakan.

photo
Warga Aceh menyesakki penjual daging sapi sewaktu hari Meugang tiba. (foto:Fahmi Mada)

Sesungguhnya Meugang tergolong peristiwa sakral dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sedikitnya ada tiga momen untuk menikmati daging meugang.  Pertama, ketika menyambut bulan Ramadan, kedua  saat datangnya hari raya Idul Fitri, dan ketiga, pada hari raya Idul Adha.

Dari sisi historis tak ada refrensi yang jelas kapan peristiwa tersebut pertama sekali berlangsung. Ada yang menyebut sudah berlangsung sejak tahun 1600-an, ketika Sultan Iskandar Muda bertahta. Menurut cerita yang berkembang dari mulut, kala itu Sultan memerintahkan jajarannya untuk membagi daging pada tiga momen sakral kepada  penduduk miskin agar mereka bahagia menyambut bulan suci Ramadhan dan hari raya.

Bila membaca karya Dennys Lombard, sejawan Prancis yang menulis tentang Kerajaan Aceh dan Iskandar Muda tidak ditemui cerita tentang meugang. Sulit ditelusuri jejaknya secara sahih dan menyakinkan.

Lain lagi penuturan tokoh-tokoh tua, menurut  mereka konon hari meugang adalah jejak yang dirayakan oleh para saudagar dari Gujarat dan Jazirah Arab yang datang ke Aceh untuk mensyiarkan Islam. Para saudagar ini pada momen-momen yang sakral selalu berbagi tumpukan daging kepada warga.

Kultur ini tidak ada jejak juga mengapa dinamai meugang. Apa arti meugang yang sesungguhnya. Biarlah sejarawan yang akan menguliknya nanti.

Bagi warga Aceh hari meugang Idul Fitri dari dimensi spiritual sebagai forum silaturahim, mereka yang dirantau mudik ke kampung, ingin berkumpul dengan keluarga sambil menikmati masakan ibunya. Meugang hari dimana bersuka cita, makan bersama dan menunggu hari raya.