Menanti Lailatul Qadar di Malam 27 Ramadhan

Red: Muhammad Subarkah

Jumat 31 May 2019 18:33 WIB

Suasana menjelang waktu Maghrib saat Ramadhan di Masjid Nabawi Madinah. Foto: Uttiek M Panji Astuti Suasana menjelang waktu Maghrib saat Ramadhan di Masjid Nabawi Madinah.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

“Di malam ke-27, enggak usah keluar dari masjid sama sekali, Tiek. Bawa makanan yang cukup kalau enggak selera dengan makanan yang dibagikan. Karena kalau sudah keluar, pasti enggak akan bisa masuk lagi,” pesan itu terus diulang-ulang sebelum saya berangkat umrah Ramadhan.

Jadilah sejak Dzuhur saya memutuskan tidak keluar lagi dari masjid. Kebetulan ada anak gadis dalam rombongan yang dititipkan pada saya. Jadi kita bisa bergantian menjaga tempat kalau mau ke kamar mandi.

Menjelang Ashar, saya berbagi tempat dengan seorang perempuan Mesir bernama Rahma. Saya terkesan dengan suara lembutnya saat meminta izin nyempil di sebelah saya. “May I,” katanya dalam bahasa Inggris beraksen khas.

Alasan kedua, sekalipun dari Mesir, namun Rahma cukup langsing. Jadi cukuplah untuk empet-empetan bertiga. Kalau badannya besar seperti perempuan Arab pada umumnya, tentu saya berpikir ulang untuk berbagi tempat.

Ia adalah dosen bahasa Inggris di salah satu universitas di kota Alexandria. Anaknya empat, namun tidak ada yang dibawa serta. Ia hanya pergi umrah Ramadhan berdua dengan suaminya.

Obrolan merembet kemana-mana. Menjelang Maghrib, kepadatan jama’ah sudah tidak kira-kira. Suara askar terdengar menjerit-jerit mengatur arus manusia supaya tidak ada yang berhenti. Karena, akan sangat berbahaya sekali kalau sampai ada titik yang terkunci.

Saat kumandang Adzan Maghrib terdengar, Rahma mencoba mencicipi rendang yang saya bawa. “Spicy,” komentarnya dengan mimik lucu.

Ya, hari itu saya tidak kembali ke hotel seperti biasanya. Saya membawa bekal rendang untuk berbuka, yang saya makan dengan roti yang dibagikan.

Karena bertahan sejak siang, semua jadi akrab. Makin malam suasananya seperti keluarga besar yang berangkat umrah bersama-sama. Saling berbagi bekal. Menjagakan tempat yang ditinggal ke toilet. Sekalipun beda bangsa, beda bahasa.

Di dekat saya ada gadis Pakistan yang pergi dengan ibunya. Ia terlihat sangat perhatian. Semua yang diminta ibunya, diiyakan. Ibunya yang seorang petani terlihat sangat bangga pada anak gadisnya yang bisa berbahasa Inggris. Ia meminta anaknya menerjemahkan apa saja. Bertanya banyak hal, pada orang-orang di sekitar.

Juga perempuan dari Nigeria yang katanya berprofesi sebagai penari. "So you take off your scarf when you're dancing?" Tanya saya penasaran. Ia mengangguk mengiyakan.

Suasana yang luar biasa meriah dan sangat padat itu berlangsung hingga usai shalat Subuh. Dari celotehan orang-orang, katanya jamaah shalat Tarawih panjangnya menyambung sampai jembatan Misfalah.

Entah benar, entah tidak.

Mengapa malam ini sangat istimewa? Karena di malam inilah diprediksi turunnya Lailatul Qadar. Malam yang lebih mulia dari seribu bulan.

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata mengenai malam Lailatul Qadar, “Demi Allah, aku sungguh mengetahui malam tersebut. Malam tersebut adalah malam yang Allah memerintahkan untuk menghidupkannya dengan shalat malam, yaitu malam ke-27 dari bulan Ramadhan.” (HR. Muslim no. 762)

Tidak perlu diperdebatkan bila tak sependapat. Karena yang pasti, keutamaan 10 malam terakhir Ramadhan, utamanya di malam-malam ganjil, tak diragukan lagi.

Hari ini adalah malam ke-27 itu. Mari hidupkan malam hingga fajar menjelang.

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’

Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku.

Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti