Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
“……”
“Tidak perlu dijawab, kalau Anda tidak bersedia,” tukas saya cepat sambil memberi isyarat minta diterjemahkan. Syeikh tercekat. Matanya mengembun. Sedetik ia mengusap sudut matanya yang basah.
Kemarin saya berkesempatan berbincang dengan Syeikh Muhammad Abu Muhammad ad Dimasyqiy. Seorang ulama asal Damaskus, Suriah, yang sedang safari Ramadhan di Indonesia atas undangan dari Syam Organizer. Janji temu diatur oleh Akbar Fachreza yang selama Ramadhan ini bertugas mendampinginya menjadi penerjemah.
Pertanyaan yang saya ajukan barusan, yang membuatnya kehilangan kata-kata adalah, “Seperti apa masa kecil Anda di Damaskus? Bisa diceritakan keindahan negeri itu?”
Syeikh selalu merasa sedih kalau terkenang keindahan negerinya yang kini luluh lantak akibat perang.
Ia meninggalkan tanah kelahirannya enam tahun lalu. Melewati perbatasan Libanon yang berliku. Dan kini bermukim di Istanbul.
Orang tua dan saudara-saudaranya masih tertinggal di sana. Itu yang membuatnya gundah hati setiap saat. “Apakah mereka masih selamat? Apakah mereka masih hidup hari ini?”
Kalau di pekan ini kita semua sibuk menyiapkan mudik Lebaran dengan perasaan suka cita. Saya bisa membayangkan perasaannya.
Ke mana hendak pulang?
Hampir mustahil baginya menginjakkan kaki di tanah yang diberkahi itu lagi. Memeluk hangat ayah dan ibunya. Menghapus kesedihan dan menguatkan mereka. Sambil meyakinkan, setelah badai akan muncul pelangi. Damaskus telah porak-poranda.
Ia mengenang, awalnya rakyat Suriah hanya memprotes kedzaliman yang dipertontonkan pemimpin negerinya. Meminta sedikit ruang, untuk menyuarakan perbedaan.
Perbedaan adalah kata yang wajar dalam pikiran kita. Namun, perbedaan adalah “mantera” ajaib bagi mereka. Yang entah ada di mana dan bagaimana cara mendapatkannya.
Syeikh teringat, saat pemungutan suara, Bashar al Assad mencatatkan kemenangan 99,9999….% yang penuh rekayasa. Hanya ada satu kolom yang bisa dipilih rakyat di bilik suara. “Na’am –ya-”. Tak ada pilihan lainnya.
Sekalipun kemenangan 99,9999….% diceritakan dengan gaya yang lucu. Namun terdengar sangat satire. Penuh getaran duka.
Seruan damai itu berujung aniaya. Rakyat dibantai seakan tak ada puasnya. Bahkan sampai detik ini. Di bulan Ramadhan yang suci.
Sepanjang hidupnya di Damaskus, Syeikh tumbuh di lingkungan yang sangat agamis. Hatinya terpaut di masjid. Ia menyelesaikan pendidikan tinggi agama dan menjadi dosen di salah satu universitas di sana.
Hingga tibalah hari itu. Ia dipanggil negara untuk memperpanjang wajib militernya. Yang artinya, ia harus bersedia ditugaskan membunuhi saudara-saudaranya.
Menolak panggilan negara, sama artinya menyerahkan nyawa. Tak ada pilihan selain mengungsi ke negeri yang aman. Istanbul yang membuka pintu lebar-lebar menjadi pilihan.
Di bulan Ramadhan ini, hampir sebulan lamanya ia berada di Indonesia. Syeikh merasa sangat terkesan dengan akhlaq orang Indonesia yang sangat baik dan ramah.
Tergetar hatinya, menyaksikan ghirah orang-orang di negeri ini yang hendak membantu saudara-saudaranya di bumi Syam.
Ia tak bisa melupakan, saat melihat anak kecil membawa kencleng tabungannya ke masjid dan menyerahkan semuanya. Kebaikan hati orang Indonesia menurutnya tak bisa diungkap dengan kata-kata. Bahkan lebih baik dari saudara-saudara kita di Istanbul yang sudah sangat baik itu.
Mendegar itu hati saya gerimis. Karena percaya dengan kejujuran ucapannya. Seorang Syeikh seperti dirinya tak mungkin berdusta untuk hal semacam ini.
Berulang kali menjelajah ke negeri-negeri dengan jejak peradaban Islam, saya sering mendengar sanjungan semacam ini. Kebaikan hati orang-orang di negeri ini masyhur ke seantero bumi.
Sebagai perempuan, hati saya bergetar manakala mendengar cerita para ummahat yang dilecehkan. Salah satu perjuangan rakyat Suriah saat ini adalah untuk mempertahankan kehormatan itu.
Begitupun saat serangan brutal ke dalam masjid-masjid. “Masjid adalah tempat perlindungan. Tidak boleh diserang.”
Telinga saya berdesing. Dada saya sesak mendengar penjelasan itu. Sudut mata saya menghangat. Tetiba saya teringat kejadian yang dekat sekali. Belum lama ini. Ah….
Laa hawla wa laa quwwata illa billah
“Apakah Anda menyesal, protes yang awalnya disuarakan rakyat untuk menentang kedzaliman, kini berujung perang tak berkesudahan?” tanya saya.
Qadarullah wa Maa Sya'a Fa'al. Takdir Allah adalah apa yang dikehendaki-Nya dan itu pasti terjadi.
“Tidak pernah ada penyesalan bagi rakyat Suriah. Kalaulah sampai sekarang tujuan kami untuk menghilangkan kedzaliman itu belum tercapai. Setidaknya, segala ‘borok’ itu sudah terbuka. Itu pun sudah cukup bagi kami.”
“Menurut Anda, apakah perang di Suriah ini akan berakhir? Atau inikah tanda dimulainya perang akhir zaman itu?”
Lama terdiam. Sebelum Syeikh mengangkat kedua tangan sambil mengatakan, “Wallahu a’lam -dan Allah lebih tahu-“ Sedetik wajahnya kehilangan cahaya saat mengucapkannya.
Secangkir kopi hitam. Dua cangkir teh panas. Sebotol air mineral dingin mulai tandas. Perbincangan sebenarnya masih sangat seru. Saya teringat tipikal keramahan orang Arab. Kalau sudah bercerita, tidak bisa dihentikan.
Namun, saya tahu diri. Syeikh besok masih ada agenda dan harus istirahat, karena akan kembali ke Istanbul.
“Doa kami selalu untuk negeri Syam yang penuh berkah. Semoga Allah izinkan, suatu saat nanti saya bersilaturahim dengan Anda di Damaskus,” kata saya menutup perbincangan yang disambutnya dengan senyum tulus sambil menangkupkan tangan di dada.
Doa yang diucapkannya sebelum berpisah saya aminkan sepenuh hati. Doa orang sholeh ijabah. Doa orang teraniaya, ijabah. Doa di bulan Ramadhan, ijabah. Terkumpul tiga keutamaan mengakhiri perbincangan malam itu.
Allahumma ‘a-izzal islama wal muslimina Allahummanshur ikhwananal musliminal mujahidina fi Suriah Allahumma tsabbit imanahum wa anzilis-sakinata ‘ala qulubihim wa wahhid shufufahum
(Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum Muslimin. Ya Allah, tolonglah kaum Muslimin dan Mujahidin di Suriah. Ya Allah, teguhkanlah Iman mereka dan turunkanlah ketenteraman di dalam hati dan satukanlah barisan mereka).
Jakarta, 30/5/2019
Follow me on IG @uttiek.herlambang
Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti