REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Astrid Faidlatul selalu membawa kotak makan dan botol minuman isi ulang tiap mudik ke kampung halamannya di Gresik, Jawa Timur. Buat dia, dua perlengkapan itu adalah sarana untuk cara mudah berpuasa sampah plastik kemasan makanan yang ia bawa selama perjalanan mudik.
Bagi sebagian orang, cara Astrid barangkali kurang praktis. Membawa kotak makan dan botol minum isi ulang membuat adanya beban tambahan yang harus dibawa sepanjang perjalanan pulang kampung.
Namun, bagi dara berusia 23 tahun itu beban tambahan tersebut tak sebanding dengan beban lingkungan akibat banyaknya sampah plastik yang dihasilkan masyarakat selama mudik. "Agar benar-benar tidak menghasilkan sampah selama mudik rasanya sulit karena terkadang ada keinginan untuk jajan," katanya.
"Dari sana biasanya makanan atau minuman sudah ada dalam kemasan. Buat saya yang penting bisa mengurangi sampah sudah bagus," imbuh Astrid yang berencana mudik naik kereta api jelang Lebaran 2019.
Selain kemacetan, sampah turut menjadi masalah yang dihadapi tiap masa mudik berlangsung baik menjelang, saat, maupun setelah Lebaran.
Sampah di jalur mudik tepatnya di tempat peristirahatan (rest area) biasanya akan meningkat beberap kali lipat dari hari biasa. Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada musim mudik 2018, rata-rata produksi harian sampah di satu tempat peristirahatan mencapai 10 ton.
Padahal sampah yang dihasilkan saat hari biasa hanya sekitar tiga ton. Pada musim mudik tahun ini, KLHK memprediksi sampah yang dihasilkan dapat mencapai 16.100 ton per hari.
Angka itu diperoleh dari jumlah pemudik sebanyak 23 juta orang dikalikan dengan produksi harian sampah per orang yang rata-rata sebanyak 0,7 Kilogram. Dari jumlah itu, sampah yang banyak dihasilkan meliputi sterefoam, kemasan mi instan, botol minuman, gelas plastik minuman, kertas pembungkus makanan, peralatan makan plastik sekali pakai, dan bungkus plastik.
Menurut pakar Lingkungan Hidup Universitas Indonesia, Saraswati Putri, pola pikir dan kebiasaan jadi beberapa penyebab masalah sampah menumpuk saat musim mudik. Sebagian besar orang kurang memahami bahwa pola konsumsinya mempengaruhi sampah yang dihasilkan.
Alhasil, banyak orang yang lebih memilih untuk menggunakan kemasan atau alat sekali pakai saat mengonsumsi panganan dan berbelanja karena lebih mudah dan praktis. Padahal pilihan itu punya dampak merusak bagi lingkungan. Jika lingkungan tercemar, keseimbangan ekosistem pun ikut terganggu.
Menurut Saras perlu ada kebiasaan yang diubah. "Sekarang jargonnya tidak cukup hanya membuang sampah di tempatnya tetapi harus mengurangi produksi sampah dari diri sendiri," kata Saras yang juga terbiasa mudik via jalan darat ke kampungnya di Bali.
Walaupun demikian, pemikiran itu cukup sulit dipraktikkan. Ini karena sebagian besar orang termasuk para pemudik tidak terbiasa mengolah sampahnya sendiri.
Kebiasaan itu menyebabkan urusan sampah masih dianggap sepele. Saat limbah menumpuk yang direpotkan bukan para pembuangnya tetapi petugas kebersihan, pengelola gedung/tempat, dan pemerintah.