REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa di bulan suci Ramadhan berdampak positif untuk kesehatan otak dan sistem saraf. Hal itu dijelaskan ahli neurosains, Prof Taruna Ikrar.
Seseorang yang berpuasa biasanya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhkan pikiran dan perilaku yang buruk. Di satu sisi, upaya ini berfaedah untuk menghindari perkara-perkara yang dapat merusak pahala puasa. Di sisi lain, hal yang sama membuat diri semakin sehat.
“Jadi, secara psikis, bagaimana orang yang menjalankan puasa tersebut akan semakin memiliki jiwa dan perilaku sehat, dan tentunya menjauhkan pikiran dan perbuatan dari hal-hal yang bisa mencederai hakekat berpuasa," kata Prof Taruna Ikrar dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Rabu (29/5).
Dia melanjutkan, puasa sesungguhnya mendukung proses regenerasi dan fungsi otak. Sebagai informasi, otak merupakan organ tubuh yang paling kompleks.
Otak adalah pusat berpikir, mengingat, inovasi, dan penafsiran terhadap fungsi pancaindra. Otak juga berfungsi inisiator gerakan tubuh dan pengendali perilaku. Otak pula menjadi sumber dari semua kualitas yang mendefinisikan kemanusiaan.
Taruna Ikrar menyebut, otak adalah organ yang tak ada habis-habisnya diteliti, meski sudah berabad-abad lamanya. Secara prinsip, otak melayani fungsi penting kehidupan. Pesan yang diterima indra penglihatan, penciuman, sentuhan, rasa, dan pendengaran, diproses otak secara bersamaan.
Otak juga memiliki fungsi mengontrol pikiran, memori, gerakan tangan dan kaki, serta fungsi semua organ dalam tubuh. Banyak faktor memengaruhi fungsi otak, antara lain faktor genetik, psikologi atau kejiwaan, lingkungan, makanan, dan minuman.
“Lewat puasa sebulan penuh, berdasarkan plastisitas, neurogenesis, dan fungsional kompensasi, jaringan otak dapat diperbarui, sehingga terbentuklah rute jaringan baru di otak," ujar guru besar pada The National Health University, California, Amerika Serikat itu.
Secara psikologis, lanjut dia, dengan berpuasa seseorang mampu menciptakan ketenangan dan mengendalikan emosi. Pada akhirnya, hal ini dapat menurunkan kadar adrenalin.
Adrenalin menyempitkan pembuluh darah perifer dan, sebaliknya, meluaskan pembuluh darah koroner. Aktifnya adrenalin akan menambah volume darah ke jantung dan jumlah detak jantung.
Tingginya Adrenalin, dapat menambah pembentukan kolesterol dari lemak protein berkepadatan rendah. Sekaligus meningkatkan risiko penyakit pembuluh darah, jantung, dan otak, seperti jantung koroner dan stroke.
“Penelitian endokrinologi menunjukkan, pola makan saat puasa yang rotatif menyebabkan keluarnya hormon sistem pencernaan, seperti amilase dan insulin, dalam jumlah besar sehingga meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan tubuh,” tambah Taruna.
“Secara fisik, puasa juga bisa mengurangi potensi stroke dan jantung koroner serta menjadikan manusia dengan pikiran lebih baik,” tutup dia.