Jalan Sunyi I'tikaf: Dari Maroko, Mesir, Hingga Jakarta

Red: Muhammad Subarkah

Rabu 29 May 2019 04:01 WIB

Melakukan I'tikaf di dalam masjid selama Ramadhan. Foto: Uttiek M Panji Asuti Melakukan I'tikaf di dalam masjid selama Ramadhan.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

“Adek juga I’tikaf? Menginap di sini?” Tanya nenek itu dengan pandangan mata yang sulit saya artikan.

“Tidak. Saya pulang,” jawab saya masih sedikit bingung.

“Oh, saya kira. Pantas. Iyalah…” lanjutnya makin membingungkan.

Saya ingat percakapan itu Ramadhan beberapa tahun lalu. Karena setiap hari jamaah shalat Tarawih di Masjid Agung Al-Azhar, saya jadi akrab dengan para nenek “penguasa” shaf terdepan.

Mereka ini selama 10 hari terakhir di bulan Ramadhan I’tikaf dan menginap di masjid dalam program pesantren lansia.

Setelah berpikir lama, barulah saya paham. Mungkin nenek itu heran, kalau ada “anak muda” yang ikut menginap.

Karena rata-rata yang ikut program itu adalah nenek-nenek yang sudah sendiri. Saya selalu tersenyum kalau mengingat percakapan itu.

Saya baru “akrab” dengan suasana I’tikaf yang meriah setelah tinggal di Jakarta. Dulu rasanya sewaktu kecil, saya tidak melihat suasana I’tikaf semeriah itu di Solo.

Di Masjid At-tin, keluarga-keluarga membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Perbekalannya sungguh lengkap. Bahkan ada yang membawa kasur tiup yang besar untuk istirahat.

Di masjid-masjid besar di berbagai belahan dunia, I’tikaf di 10 hari terakhir selalu menghadirkan pemandangan yang menakjubkan.

Di Maroko ada tradisi Durus Hasaniyyah, yakni pengajian Raja yang diselenggarakan seminggu sekali selama bulan Ramadhan.

Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, Masjid Hasan II yang menjadi ikon Maroko penuh dengan jamaah. Masjid ini mempunyai pemandangan yang spektakuler, karena posisinya di tepi Samudra Atlantik. Terbayangkan indahnya menikmati malam sambil mendaras bacaan Alqu’an di sini.

Masjid Al Azhar Kairo, Mesir, mempunyai tradisi shalat Tarawih di mana imam melantunkan ayat-ayat Alqur’an dengan berbagai qira’at. Padatnya jamaah seringkai membuat kemacetan di area masjid.

"Tapi sebenarnya yang lebih ramai Masjid Amru bin Ash, Mbak," cerita Irsyad Amrulloh, mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Universitas Al Azhar, Kairo.

Saking ramainya, bahkan datang sebelum ifthar pun sudah tidak kebagian tempat dan terpaksa harus shalat di luar. Seperti pengalamannya, "Sampai selesai Witir, shalat di luar masjid."

Tak hanya di masjid besar, di masjid-masjid kompleks yang tidak seberapa besar pun antusias jama’ahnya luar biasa.

Di malam genap, suami saya Lambang selalu I’tikaf di masjid kompleks. Di malam ganjil atau akhir pekan, kadang Lambang mencari masjid yang punya program I’tikaf menarik.

Jangan khawatir soal pasokan perbekalan. Dari makan berat untuk sahur, kopi, susu, aneka minuman hangat, hingga makanan ringan datang dengan sendirinya dalam jumlah berlimpah.

Di Masjid Agung Solo, cerita adik saya Faridtribun Unique, bahkan untuk berbagi sahur harus berkoordinasi dengan ta'mir masjid supaya jumlahnya tidak berlebihan dan terbuang.

Momen I’tikaf yang tak terlupakan tentu saja di Tanah Suci. Menghabiskan malam bersama jutaan orang. Bermunajad. Mendaras Alqur’an. Berdzikir.

Sekalipun di tengah keriuhan, namun terasa sunyi. Seakan hanya ada saya dan Dia Yang Maha Mulia.

Sungguh, Allah begitu dekat. Hangat cahayaNya menembus relung hati terdalam. Tak ada lelah. Tak ada gundah. Hanya ada satu kata: bahagia.

Setelah shalat Tarawih 20 rekaat dengan panjang bacaan 1 juz. Sambil menunggu waktu Qiyamul Lail, tak terasa lelah sama sekali mendaras Alqur’an. Bukan satu-dua juz, melainkan tiga-empat juz bisa diselesaikan tanpa kantuk. Tanpa capek.

Padahal setelah itu masih shalat Qiyamul Lail sebanyak 8 reka’at ditutup Witir. Yang panjang bacaannya tidak kalah lama dengan shalat Tarawih 20 rekaat.

Sekalipun stamina terkuras. Namun tak ada lelah selain mengharap lillah. Ini sekaligus menjawab pertanyaan, mengapa anak-anak hingga orang-orang sepuh kuat saja menjalani rutinitas yang luar biasa itu.

Karena dorongan energi ikhlas sungguh luar biasa. Rasanya segala kepenatan duniawi sirna seketika. Membebaskan dari hiruk-pikuk urusan-urusan yang seakan tak ada ujung pangkalnya.

Semua saling menularkan energi positif. Ibadah menjadi lebih khusuk. Tidak ada yang dinanti melebihi datangnya malam yang lebih baik dari seribu bulan: Lailatul Qadar.

Tercatat dalam riwayat Ibn Umar, Anas, dan Aisyah RA, Rasulullah SAW selalu melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat [HR Bukhari dan Mus lim].

Bahkan, pada ramadhan terakhir di tahun wafatnya, Rasulullah SAW melaksanakan I’tikaf selama 20 hari [HR al-Bukhari].

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’

Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku.

Follow me on IG @uttiek.herlambang

Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti