REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Setiap komunitas Muslim mengalami bulan suci Ramadhan dengan berbeda-beda. Setidaknya, hal itu tampak dari durasi berpuasa sehari penuh.

Seperti dilansir The Economist, Jumat (24/5), suatu negara mengalami rentang waktu Ramadhan yang lebih lama daripada negara lain. Secara perhitungan, bulan Ramadhan tahun ini datang sekitar 11 hari lebih cepat daripada tahun sebelumnya.

Lebih lanjut, Ramadhan pada tahun ini dekat dengan waktu titik balik matahari yang terjadi tiap 21 Juni. Dengan demikian, hari-hari menjadi lebih lama di belahan bumi utara.

Dengan kata lain, kaum Muslimin yang tinggal di wilayah garis lintang utara, menghadapi hari puasa yang lebih panjang, dengan jangka waktu buka puasa yang lebih pendek daripada mereka yang tidak tinggal di wilayah utara bumi.

Misalnya, kaum Muslimin di London, Inggris. Mereka berpuasa sekitar 18 jam, yakni dari sekitar pukul 03.00 dini hari hingga 21.00 malam waktu setempat.

Muslim di Helsinki, Finlandia, mesti menjalani puasa selama 20 jam. Bagaimanapun, yang terlama ialah di Kota Arkhangelsk, Rusia. Di kota yang berjarak 18 jam perjalanan dari Moskow itu, kaum Muslimin setempat mesti berpuasa selama sekitar 21 jam sehari.

Tantangan berpuasa tak hanya soal durasinya, tetapi juga iklim. The Economist mengutip survei tentang kota-kota di dunia dengan populasi di atas 300 ribu orang. Kota Makkah di Arab Saudi merupakan wilayah yang bersuhu 35 hingga 44 derajat celcius pada siang hari. Bulan Juni menjadi waktu dengan suhu paling tinggi daripada bulan-bulan lainnya.

Kaum Muslimin menyiasati berbagai kesulitan dengan banyak cara. Di negara-negara mayoritas Muslim dengan suhu yang panas, banyak orang menghabiskan waktu siang dengan istirahat.

Di Uni Emirat Arab, misalnya, pemerintah setempat membatasi waktu kerja selama bulan Ramadhan, yakni tidak lebih dari enam jam sehari.