Terharu, Ramadhan Anak di Tengah Sekolah di Negeri Viking

Red: Muhammad Subarkah

Jumat 24 May 2019 06:22 WIB

Suasa sekolah di Norwegia pada bulan puasa 2019. Foto: Savitri Icha Khairunisa Suasa sekolah di Norwegia pada bulan puasa 2019.

Oleh: Savitri Icha Khairunisa, perantau Indonesia di Norwegia

Ini cerita tentang anak-anak remaja muslim di negeri Viking. Bagaimana mereka memadukan keriangan masa remaja yang serba fun dengan ketaatan pada ajaran agama, dengan status mereka sebagai minoritas.

Dua hari kemarin, anak saya, Fatih dan teman-temannya, ikut serta dalam event "leirskolen" (camp school) di Stemnestaden, kota kecil sekitar 20 km dari Haugesund. 
Leirskolen kali ini unik. Di sana anak-anak lulusan SD se-Haugesund berkumpul untuk saling mengenal dengan sesama mereka maupun dengan para calon guru mereka di SMP nantinya. Di leirskolen mereka dibagi per kelompok sesuai kelas baru mereka. Fatih kebagian kelas 8A, dan ada 25 siswa dalam satu kelas.

photo
Fatih dan Amar (asal Bosnia) dengan teman sekolahnya yang asli Norwegia.

Seperti halnya SD, maka untuk masuk SMP di Norwegia sama sekali nggak ada tes masuk. Semua siswa yang akan lulus SD otomatis akan didaftarkan oleh Pemda ke SMP terdekat dari rumah. Jadi sistemnya adalah zonasi. Yang saya maksud adalah SMP Negeri, ya. Untuk sekolah swasta tentu beda lagi, dan nggak saya bahas di sini.

Beberapa bulan sebelumnya para orangtua diundang ke bakal calon SMP anaknya. Berkenalan dengan sesama orangtua, guru, dan kepala sekolah. Beberapa waktu kemudian anak-anak akan menerima daftar nama siswa di sekolah baru mereka. Yang unik dari pembagian kelas ini, walikelas 7 akan berkoordinasi dengan kepala SMP. Jadi walikelas akan menginformasikan, si anak ini dekat dengan siapa saja.

Nah, teman-teman dekat ini kemudian akan dimasukkan ke kelas yang sama. Tujuannya? Ya untuk mempermudah masa transisi. Tentu anak akan lebih mudah merasa nyaman di sekolah baru bila sahabatnya ada di kelas yang sama.

Di 'leirskolen' mereka akan melakukan berbagai aktivitas yang diharapkan akan membuat mereka saling akrab. 
Di kelas barunya nanti Fatih akan sekelas lagi dengan Johannes, Amar, Sebastian, Styrk, dan Zacharias. 
Salah satu teman barunya adalah Ward, anak dari Ibrahim sang pemilik kedai makanan halal langganan kami.

Sejak awal saya mengantisipasi kegiatan leirskolen yang jatuh di bulan Ramadhan. Saya berkomunikasi dengan Barbro, ibu kepala leirskolen, tentang masalah salat dan puasa yang dijalani Fatih. Alhamdulillah si ibu akomodatif dan dengan senang hati membantu.

Pun ketika saya beri tau kalau waktu sahur adalah jam 03:20, di masa semua orang terlelap. Barbro mengatakan bahwa itu bisa diatur. Dia akan koordinasi dengan penjaga malam untuk membangunkan sahur. 
Selebihnya saya berharap pada hari 'H', Fatih betul-betul bisa bangun untuk sahur. Saya pesankan ke dia, bahwa kalau nggak terbangun, jangan memaksakan puasa.

Sehari menjelang keberangkatan, Fatih menyiapkan semua perlengkapannya sendiri. Mulai sleeping bag, sarung bantal, baju ganti, handuk, peralatan mandi, minyak telon, bedak Caladine, sampai kurma dan Mi Cup ABC untuk sahur.

Senang melihat keceriaan Fatih dan teman-temannya waktu itu. Setidaknya, mereka bisa libur sekolah dua hari. Tapi itu juga berarti libur dari semua jenis gadget. Di sana berbagai kegiatan fisik dan edukatif menanti mereka. Ada fotografi, sinematografi, panahan, panjat dinding, kanooing, sampai sepak bola dan kesenian (tari, nyanyi, dan drama).

photo
Parade anak-anak sekolah pada hari ulang tahun Norwegia tanggal 17 Mei 2019.

Singkat cerita, kemarin Fatih pulang dengan selamat, meski agak sedikit kucel. Rupanya dia belum mandi. Semua temannya juga nggak ada yang mandi, karena nggak ada waktu. Pantes aja ada bau-bau asem gimana gitu waktu saya cium ubun-ubunnya.

Hal pertama yang saya tanyakan adalah, apakah Fatih tetap puasa? 
Dan mengalirlah ceritanya. Alhamdulillah dia puasa penuh kemarin sampai jam 20:00. Tiga butir kurma yang dia bawa dibagikan ke Amar dan Ward yang ternyata juga puasa. MasyaAllah alhamdulillah!

Fatih dan Amar juga menerima banyak pertanyaan seputar puasa.
Puasa itu berat nggak, sih? Kenapa kalian harus puasa? Kok bisa kuat nggak makan nggak minum selama itu?
Mereka bertanya karena melihat Fatih, Amar, dan Ward nggak ikut makan ketika jam makan siang.
Dan dialog Ramadhan ala anak-anakpun berlangsung dengan singkat tapi mencerahkan.

Waktu sahur dia dibangunkan oleh penjaga malam, seorang perempuan asal Brazil. Ternyata Amar dan Ward pun sahur juga. Dan tau apa yang dibawa Ward untuk sahur? Mi ABC Selera Pedas! Ternyata Umm Ward mendengar saran saya waktu saya beli Mi Cup ABC di tokonya tempohari. Bahwa mi produksi asli Indonesia itu adalah menu yang praktis dan mengenyangkan untuk sahur.
Setelah sahur, Fatih salat subuh dan kembali tidur karena memang belum ada kegiatan apapun sesubuh itu.

Kemudian saya bertanya tentang salat. 
Fatih cerita kalau dia salat jamak dhuhur asar secara berjamaah dengan Amar. Fatih yang jadi imam. Kata Fatih, Amar juga wiridan setelah salat. 
"Sama kayak aku. Tapi nggak bisa lama-lama karena keburu dipanggil," katanya.

Lalu salat Maghrib dan isya gimana? Apakah jamaah lagi sama Amar?
Ternyata tidak. Karena kamar mereka terpisah. Dan mereka harus tinggal di kamar ketika sudah waktunya istirahat malam.
Saya kira Fatih salat sendiri, sementara Johannes teman sekamarnya leyeh-leyeh.

"Tau, Bunda? Johannes ikut salat sama aku!"

"Wah, kok bisa?" tanya saya.

"Katanya Johannes pingin coba ikut salat. Dia pakai handuknya untuk sajadah."

Saya pikir Johannes hanya bertahan beberapa gerakan saja. Ternyata...

"Johannes ikut semua gerakanku, Bunda. Padahal aku salatnya lama karena jamak Maghrib sama Isya."

Ya Allah, Nak... Bundamu langsung merinding dan mbrebes mili. Ayah juga tercengang.

Johannes, si anak asli Norwegia yang tingginya 170-an cm, berambut pirang dan bermata biru, dulunya adalah anak bermasalah akibat perceraian orangtuanya. Ia sangat pemarah dan suka memukul. Tapi alhamdulillah berbagai terapi dan pertemanan dengan teman-temannya selama enam tahun terakhir bisa mengubah karakternya. Sekarang dia jadi anak periang, sopan, dan hobi melucu. So sweet lah pokoknya.

Fragmen Fatih salat jamaah dengan Johannes ini singkat saja dia ceritakan. Tapi saya yakin selamanya nggak akan pernah dia lupakan.

Saya diam-diam bangga pada Fatih. Badannya termasuk mungil di antara teman-temannya yang menjulang tinggi. Ia juga pendatang yang masih berbicara bahasa ibu di luar lingkungan sekolah. Tapi alhamdulillah dia dipercaya jadi ketua kelas, memimpin teman-temannya, menampung aspirasi mereka, dan menyampaikannya di tiap rapat dengan pihak sekolah.

Anak Indonesia yang selalu ceria dan cenderung cengengesan ini, meski kadang ditegur gurunya karena kebanyakan ngobrol di kelas, bisa membawa diri di tengah pergaulan orang lokal. Di lain sisi dia juga bisa tetap mempertahankan identitas Indonesia dan Muslim dengan cukup baik.


Amar dan Ward juga demikian. Keluarga mereka mendidik anak-anak itu dengan baik. Semoga mereka semua selalu berada dalam penjagaan Allah Subhanahu Wa Ta'aala di manapun mereka berada.

Momen shalat berjamaah dengan Johannes mengajarkan pada saya, bahwa Islam itu memang indah. Islam itu membuat orang penasaran dan ingin tahu.


Jadi semua tergantung bagaimana peran kita semua sebagai wajah Islam yang mengemban misi dakwah di lingkungan sekitar. Dakwah yang ramah dan penuh senyum. Dakwah yang dijalankan dengan tertib tanpa paksaan. Dakwah yang dicontohkan melalui perilaku aplikatif nan santun.

InsyaAllah masa depan Islam akan cerah kalau generasi mudanya bisa jadi duta Islam yang baik. 
Ini doa sekaligus pelajaran moral nomor lima puluh.