Kisah Relawan Merasakan Sensasi Puasa Ramadhan di Rohingya

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Agus Yulianto

Senin 20 May 2019 22:15 WIB

Suasana puasa di kawasan Kampung Muslim, Sittwe Township, Rakhine State, Myanmar. Foto: Foto: dokumentasi Suasana puasa di kawasan Kampung Muslim, Sittwe Township, Rakhine State, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, MYANMAR — Tantangan lebih berat saat menjalankan puasa di kawasan Kampung Muslim, Sittwe Township, Rakhine State, Myanmar, dirasakan sejumlah relawan Dompet Dhuafa. Kondisi tersebut nyata dirasakan saat tim blusukan pada Jumat (17/5) lalu.

Debu-debu bertebaran ramah menyapa, dan tak perlu kendaraan berat melintas untuk mengepulkan debu. Saat masyarakat berjalan pun, debu sudah mengepul mengikuti langkah mereka, mengingat jalanan memang berasal dari tanah coklat bercampur pasir.

Begitupula dengan panasnya matahari yang turut memicu keringat dan membasahi tubuh, belum lagi durasi puasa yang lebih panjang dari Indonesia. Kondisi nyata di kawasan tersebut mewarnai Ramadhan relawan Dompet Dhuafa kali ini.

Tim memang sedang menggulirkan program Ramadhan di Pengungsian dan pembagian Parsel Ramadhan untuk Rohingya. “Luar biasa menjalankan ibadah puasa Ramadhan di sini. Apalagi waktu puasa lebih panjang dibanding di kampung sendiri,” ujar salah seorang dari Tim Disaster Management Center Dompet Dhuafa, Narwan Mutar Matsalim, yang sedang menjalankan program tersebut di Rohingya.

photo
Kebersamaan relawan dan masyarakat Rohingya saat menjelang berbuka puasa Ramadhan 1440 H. (Foto: Dokumentasi)

Menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negeri orang tak semudah di negeri sendiri, terlebih muslim di negara tersebut tergolong minoritas. Selain cuaca, kondisi geografis dan sosial, makanan menjadi tantangan baru relawan Dompet Dhuafa saat mengemban amanah para donatur menyalurkan semangat #JanganTakutBerbagi-nya untuk saudara muslim di Rohingya.

Saat di Indonesia bebas memilih menu buka puasa dan sahur, di Myanmar mencari makanan kategori halal pun sangat susah. Restoran besar yang di Indonesia berlabel halal dan ramai pembeli, di sini berbeda cerita.

“Terlebih saat memasuki di kawasan atau desa muslim Rohingya. Aksesnya luar biasa dan seakan terisolir. Karena timpang dengan kawasan kotanya, padahal jaraknya tidak jauh. Tapi meskipun begitu, ya kita nikmati saja,” jelas Narwan.

Selain itu, mencari tempat ibadah tak semudah di Indonesia. Di kampung Muslim, seperti tiga kampung yang dijelajahi Dompet Dhuafa pada hari pertama tiba di Sittwe, yaitu Hlamashay Village, Alar Thaung Village, Nga Pone Chey Village, masjid pun hadir tanpa pengeras suara. Namun, antusias masyarakat untuk menunaikan shalat berjamaah dapat dikatakan tinggi.

Dengan jarak adzan dan shalat berjamaah sekitar 30-45 menit, membuat masyarakat dapat menjangkau masjid dan menjalankan shalat berjamaah.

Kemudian saat berada di Nga Pone Chey Village, menanti buka puasa seolah lama sekali. Namun, masyarakat telah memadati masjid sejak waktu ashar. Mereka antusias mengikuti buka puasa bersama yang dihadirkan oleh lembaga kemanusiaan Indonesia.

Sebotol air mineral, sekaleng soft drink dan sebungkus nasi Buriyani lengkap dengan kari kambing, menemani buka puasa para pegiat kemanusiaan asal Indonesia yang membaur dengan masyarakat setempat. Saat waktu menunjukkan pukul 18.50 waktu Sittwe, semua dengan nikmat menyantap hidangan berbuka, berkah dari semangat #JanganTakutBerbagi masyarakat Indonesia.

“Saat puasa dan siang hari berasa terik sekali, saat maghrib tiba, berasa plong. Perjuangan sehari menunaikan puasa sekaligus menggulirkan bantuan, bisa bikin senyum sendiri. Kadang kondisi di siang hari bisa jadi cerita lucu saat berbuka tiba,” cerita  Narwan.

Ia merasa bersyukur karena lahir dan tinggal di Indonesia, waktu puasanya tidak selama di Rohingya, Myanmar. Kemudian mencari takjil dan sahur juga mudah. Menurut dia, kondisi di sana memang sangat memprihatinkan dan masih membutuhkan banyak support dari masyarakat Indonesia maupun dunia.