Mengintip Proses Masak Bubur Samin di Masjid Darussalam Solo

Rep: Binti Sholikah/ Red: Christiyaningsih

Senin 20 May 2019 16:36 WIB

Panitia Masjid Darussalam Solo memasak bubur samin. Foto: Republika/Binti Sholikah Panitia Masjid Darussalam Solo memasak bubur samin.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO --Setiap hari selama bulan Ramadhan, puluhan warga terlihat memenuhi halaman Masjid Darussalam, Jalan Gatot Subroto, Jayengan, Kecamatan Serengan, Solo. Mereka mengantre untuk mendapatkan takjil berupa bubur samin. Bubur samin adalah bubur khas masyarakat Banjar, Kalimantan.

Ketua Takmir Masjid Darussalam Jayengan, Muhammad Rosidi Muhdor, mengatakan bubur banjar samin tidak sama dengan bubur biasa. Sebab, bumbunya khas dari Kalimantan dan ditambah minyak samin.

Baca Juga

Untuk membuat 1.100 porsi bubur samin dalam satu kuali besar dibutuhkan bahan-bahan antara lain 50 kilogram beras, enam kilogram daging sapi, santan, susu, minyak samin serta rempah-rempah. Rempah-rempah yang menjadi bumbu seperti kapulaga, jahe, kunyit, ketumbar, pala kayumanis, lengkuas dan kemiri.

Resep tersebut dipertahankan sejak dulu sampai sekarang. Dengan demikian kualitas rasa bubur samin khas Kalimantan tetap terjaga.

Proses memasak bubur samin dimulai sejak pukul 11.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB. Setelah sholat ashar barulah dilakukan pembagian bubur samin. Warga sudah mengantre sejak pukul 15.00 WIB.

Mereka membawa wadah atau mangkok sendiri-sendiri. Masyarakat datang silih berganti. Biasanya, dalam satu jam sebanyak 900 porsi bubur samin sudah habis dibagikan kepada masyarakat.

Dalam sebulan, takmir Masjid Darussalam menghabiskan sekitar Rp 97 juta untuk kegiatan Ramadhan, terutama untuk memasak bubur samin. Anggaran tersebut sebagian kecil untuk kegiatan tarawih, tadarus Alquran, serta malam Nuzulul Quran.

"Semua biaya berasal dari sumbangan, terutama dari alumnus Masjid Darussalam, alumnus SD Darussalam, warga keturunan Kalimantan, serta muslimin dan muslimat sekitar Masjid Darussalam," ungkapnya.

Masyarakat Kalimantan merantau ke Jayengan sekitar tahun 1890. Kemudian, pada 1911 mereka membangun langgar yang kemudian diganti menjadi bangunan Masjid Darussalam pada 1965.

Seorang warga yang ikut mengantre bubur samin, Badruddin, mengaku sudah menikmati bubur samin gratis sejak dirinya masih kecil. Menurutnya, bubur samin bergizi karena dimasak dengan berbagai rempah-rempah.

"Bubur ini sejak saya masih kecil sampai sekarang tidak berubah, rasanya sama, gurih dan enak," ungkap warga Jayengan Tengah tersebut.