Ngabuburit dan Cintai Tetangga: Ramadhan Hangat di Haugesund

Red: Muhammad Subarkah

Senin 20 May 2019 05:05 WIB

Suasana Ramadhan di Norwegia yang cerah. Matahari ramah menyambut. Foto: Savitry Icha Khairunnisa Suasana Ramadhan di Norwegia yang cerah. Matahari ramah menyambut.

Oleh: Savitry Icha Khairunnisa, Perantau Indonesia di Norwegia

Hari ini niatnya mau olah raga senyampang udara cerah dan hangat. Jam 14:00 sudah siap berangkat. Ternyata Pak Suami ngajak saya dan anak semata wayang saya, Fatih, merapikan perdu mawar di halaman. Tertundalah rencana selama sejam.

Keuntungan musim panas kali ini do Norwegia adalah siang yang sungguh panjang. Jadi nggak ada rasa khawatir kemalaman. Hitung-hitung ini ngabuburit ala warga Haugesund. Lumayan juga tadi jalan kaki berdua dengan Fatih selama 30 menit. Tujuannya nggak jauh-jauh. Hanya di sekitar perumahan aja.

photo
Ngabuburit di Haugesund

Dalam perjalanan pulang, ternyata banyak tetangga yang lagi berjemur di teras. Orang sini memang begitu. Nggak bisa lihat matahari nganggur. Maklumlah hari cerah begini datangnya tak bisa diduga.

Kami lewat di depan rumah Ivar, tetangga yang usianya 89 tahun. Beliau ini salah satu sahabat Fatih, bahkan sebelum dia punya seorang temanpun ketika kami pindah ke Haugesund sepuluh tahun lalu. 


Ivar yang pemusik ini luar biasa ingatannya. Dia belum lupa nama saya, Fatih, dan Pak Suami. Padahal nama-nama kami ini cukup sulit dilafalkan oleh orang lokal. 
Sepertinya kebiasaan dia bermusik sangat membantu untuk menjaga memori.

Tadinya kami hanya ngobrol sebentar di terasnya. Cerita ngalor-ngidul tentang banyak hal. Termasuk juga update tentang kebiasaan rutin Ivar menghibur sesama manula di panti wredha setiap Rabu. 
Hege, nenek yang dulu suka minta bantuan Fatih membetulkan TV-nya juga sempat nimbrung sebentar.

Ketika kami akan pulang, Ivar malah mengundang kami masuk.
"Ayo, dengarkan aku main akordion," katanya.

Tak mungkin kami menolak. Tak tega rasanya. Maka Ivar dengan senang hati memainkan piano dan akordion. Kami dapat hiburan gratis. Alhamdulillah. 


photo
Ivar tengah memaikan Akordion

Selanjutnya dia menunjukkan pada kami foto-foto tua berbagai generasi keluarganya. Cerita perjuangannya semasa Perang Dunia II juga tekun kami simak. Saya semakin salut dengan detail peristiwa yang dia ceritakan. Begitu runut dan menarik untuk didengar. Rasanya seperti mendengar dongeng kakek nenek kita ketika kecil dulu.

Tak terasa hampir sejam kami di sana. Itupun sepertinya Ivar masih belum rela kami pulang. Saya paham karena dia butuh teman ngobrol. Ivar memang tinggal sendiri sejak istrinya meninggal enam tahun lalu.

Entah berapa sesi group selfie yang kami ambil tadi. 
Kami senang diundang ke rumahnya yang rapi dan resik.
Kami juga senang bisa menemani Ivar meski hanya sebentar. 
Kami berjanji untuk datang berkunjung lagi lain waktu.

"Pintu rumahku selalu terbuka kapan saja untuk kalian," kata Ivar sambil menyalami dan memeluk Fatih.

Cintai tetanggamu. Karena mereka adalah keluarga terdekat ketika kau jauh dari tanah air dan sanak saudara. Itu pelajaran moral nomor empat puluh delapan.

Terpopuler