Masa Lalu Bernama Dilan, Masa Kini Bernama Hijrah

Red: Muhammad Subarkah

Sabtu 18 May 2019 16:28 WIB

Akbar Fachreza saat menerjemahkan untuk Syaikh Mohammed Malbaji dari Damaskus Foto: Google.com Akbar Fachreza saat menerjemahkan untuk Syaikh Mohammed Malbaji dari Damaskus

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

Hari ini saya sedang menyiapkan materi untuk sharing di sebuah pesantren kilat remaja masjid.Temanya tentang Dakwah Milenial. Saya diminta sharing bagaimana memanfaatkan sosial media yang dimiliki sebagai jalan dakwah.

Menarik sekali. Karena saya sangat senang berdiskusi dengan anak muda atau mahasiswa. Berkali-kali saya menuliskan, saya selalu merasa mendapat luapan eneargi positif saat bertukar pikiran dengan mereka.

Tetiba saya teringat saat diminta menjadi dosen tamu di Fakultas Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta belum lama ini. Dari diskusi saya dengan para mahasiswa itu tersebutlah nama Dilan beberapa kali.

Saya agak menyerngitkan dahi sebenarnya mendengar nama itu disebut oleh anak-anak yang lahir tahun 2000-an.

Apa menariknya buat mereka?

Itu ibarat generasi saya, generasi Lupus, bicara tentang sosok Ali Topan. Old school banget. Nama Dilan memang muncul lagi, karena novel dan filmnya yang box office itu. Namun menurut saya, penggambaran "keren" yang diilustrasikan dengan memberontak, berantem, genk motor, menggombali cewek, itu enggak banget untuk anak sekarang. Terlalu usang!

Nama Dilan adalah masa lalu.

Sekarang itu yang keren adalah generasi hijrah. Yang personanya digambarkan sebagai: ganteng/cantik, baik hati, dan sholeh. Bukan lagi tawuran, tapi ikut kajian. Membuat konten-konten viral yang mengajak pada kebaikan. Bukan begitu?

Fenomena ini rupanya juga ditangkap DR DR Muhammad Faisal yang dituang dalam bukunya “Generasi Phi: Memahami Milenial Pengubah Indonesia.”

Dari survei yang dilakukan Youthlab (lembaga riset miliknya) di tahun 2015 dan 2016 pada lebih dari 2.000 partisipan di Jawa dan luar Jawa, isu utama yang dianggap paling penting dalam kehidupan anak muda Indonesia adalah isu keagamaan atau religiositas.

Mengapa? Masih menurut hasil penelitian tersebut, saat ini perilaku rebellious (memberontak, ingin tampil beda, seperti yang dilakukan generasi 80-an) sudah dianggap lumrah.

Sehingga terjadilah reserve psychology (teori psikologi terbalik) berupa perilaku sholeh, rajin ibadah, yang dianggap sebagai anti-mainstream dan karenanya dianggap keren.

Ada vlogger semacam Hawariyyun yang unggahannya khas anak muda namun sarat nilai kebaikan. Atau fenomena artis hijrah yang pekan depan akan kembali menghelat gelaran dakwah Hijrah Fest. Sosok seperti mereka itulah yang mewakili generasi ini.

Lalu saya teringat pula pada anak muda yang saya kenal melalui tulisan saya Journey to Uighur-Xinjiang yang belum lama viral. Semenjak tulisan itu banyak dishare di sosial media, saya jadi terhubung dengan banyak orang.

Salah satunya, Akbar Fachreza, dai muda dengan ghirah Islam yang luar biasa. Ia sedang studi di Istanbul dan banyak melakukan advokasi untuk diaspora Uighur di Turki.

Saya terkesan atas pilihan sikapnya itu. Bagaimanapun, tinggal di negeri asing dan memilih untuk membantu saudara-saudara kita yang "terusir" dari negaranya, bukanlah suatu yang mudah.

Kalaulah tak dilandasi pemahaman yang kuat akan prinsip ukhuwah, pastilah tak akan muncul keinginan itu.

Sekalipun hanya berdiskusi melalui sosial media, sekali lagi saya dibuat terkesan dengan pemahaman atas sejarah dan persoalan yang sedang mendera dunia Islam.

Seperti kemarin, sengaja saya memancingnya dengan pertanyaan, "Mengapa menggunakan bendera Turki, bukan bendera Palestine?" saat ia menjawab pertanyaan dengan menyertakan beberapa emoticon.

Jawabannya menurut saya keren. "Karena Turki Utsmani adalah penjaga terakhir negeri Palestina."

Lalu ditulislah kalimat panjang yang menjelaskan tentang sejarah bendera Palestine, Yaman, Suriah, Mesir yang dibuat oleh Inggris Raya hanya dalam waktu 15 menit saja.

"Itu adalah simbol ketertundukan umat pada nasionalisme sempit dan berpecah fanatisme kesukuan," tegasnya.

Sebagai jurnalis, saya biasa berdiskusi dengan siapa saja. Tapi anak muda ini usianya belumlah genap 27 tahun. Menurut saya, itu hebat. Karena belajar sejarah bukan sekadar menghapal nama dan angka tahun. Namun bagaimana memaknai suatu peristiwa. Butuh ilmu dan kedewasaan berpikir supaya bisa melihatnya secara obyektif.

Sekarang ini ia tengah libur untuk mudik Lebaran ke Indonesia. Ia mengisi Ramadhannya dengan menjadi penerjemah Syaikh Mohammed Malbaji dari Damaskus yang sedang safari dakwah bersama para ulama dari negeri Syam: Suriah, Palestine dan Jordania.

Setiap hari menerjemahkan kajian Subuh dan Tarawih yang disampaikan Syaikh di wilayah Yogya dan sekitarnya. "Cuapeeekk, Mbak. Karena masjidnya jauh-jauh. Tapi seneng banget," lapornya.

Kali lain saya melihat fotonya di sosial media bersama Prof DR Ali Muhammad Ash-Shallabi di acara Multaqo Ulama yang tergabung dalam Ittihad Ulama al Muslimin pimpinan Yusuf Qardhawi.

Prof ash-Shallabi adalah penulis buku sejarah Islam favorit saya setelah Prof DR Raghib as-Shirjani dan Buya Hamka. MasyaAllah.

Anak muda seperti ini yang menurut saya mewakili penggambaran "keren" sekarang. Bukan sekadar mengejar popularitas di sosial media dengan mengunggah konten-konten receh asal viral.

Tapi, mereka yang mau menjadi pembelajar untuk meneruskan estafet dakwah. Penerus risalah para Nabi. Mereka ini bukan sekadar pemuda harapan bangsa dan agama seperti yang sering disebut-sebut itu. Tapi juga harapan para orangtua dan calon mertua.

Setuju tidak?

Di awal kedatangannya, saya sempat bertanya perihal kepulangannya. "Ini back for good atau cuma liburan?"

"Back for ta'aruf, Mbak," jawabnya.

Ah, padahal saya sempat menginginkannya menjadi adik ipar saya.

Follow me on IG @uttiek.herlambang

Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti

Terpopuler