Misaharati, tumbilotohe, Ngarak Beduk: Rasa Suka Ramadhan

Red: Muhammad Subarkah

Sabtu 18 May 2019 02:43 WIB

 Pemadam kebakaran Israel memadamkan api yang berasal dari alat pembakar yang diluncurkan dari Jalur Gaza, dekat pagar perbatasan Israel dan Gaza, Rabu, (15/5). Rakyat Palestina menandai peringatan Hari Nakba ke-71 dengan berdemonstrasi di Tepi Barat yang diduduki Israel dan Jalur Gaza. Foto: AP Pemadam kebakaran Israel memadamkan api yang berasal dari alat pembakar yang diluncurkan dari Jalur Gaza, dekat pagar perbatasan Israel dan Gaza, Rabu, (15/5). Rakyat Palestina menandai peringatan Hari Nakba ke-71 dengan berdemonstrasi di Tepi Barat yang diduduki Israel dan Jalur Gaza.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

"Mereka memulai Ramadhan hari pertama dengan menguburkan jenazah keluarganya!"

Dan saya tercekat membaca artikel tentang Ramadhan di Gaza yang ditulis Republika hari ini (17/5). Kejadian ini bukan yang pertama. Sudah beberapa tahun terakhir ini setiap Ramadhan Israel selalu menyerang Gaza dengan dalih segala rupa.

Tak kurang akal, mereka selalu memberi peringatan sebelum meluluhlantakkan suatu area. Sehingga jumlah korban jiwa angkanya bisa diminimalisir. Namun bangunan yang hancur lebur, tak terhitung banyaknya.

Angka korban yang fantastis akan memancing kemarahan dunia internasional. Mereka paham betul itu. Sehingga dengan sengaja yang dihancurkan hanya bangunan fisik.

photo
Bocah Palestina membeli lampu listrik untuk persiapan menyambut Ramadhan di pasar tua di Kamp Pengungsi Jabaliya di utara Jalur Gaza.

Namun, ini dampaknya sungguh menyengsarakan. Penduduk Palestine dipaksa untuk menjalani Ramadhan di antara puing-puing rumahnya. Tak sedikit yang kehilangan barang-barang miliknya.

Terbayang bagaimana beratnya menjalani sahur di tengah kegelapan. Karena pemadaman listrik yang kian tak kenal waktu. Tak banyak peralatan rumah tangga tersisa yang bisa digunakan untuk menyiapkan makanan.

Tapi apakah kesengsaraan itu itu memadamkan semangat mereka untuk menjalabi Ramadhan?

Ternyata, tidak sama sekali. Ramadhan tetap disambut suka cita. Sebagian anak-anak masih menyalakan lentera sebagai penanda datangnya bulan yang dinanti-nanti dalam segala keterbatasannya.

Mereka yang masih mendapat rizki lebih, walaupun jumlahnya sangat sedikit, tetap membagikan yang dimiliki untuk tetangga dan saudaranya.

Dan yang paling dinanti adalah Misaharati. Yakni tetabuhan yang dibunyikan untuk membangunkan sahur. Riuhnya bunyi tetabuhan ini menjadi pelipur lara.

Anak-anak kecil menanti di balik jendela rumahnya, menanti rombongan Misaharati melintasi rumahnya.

photo
Misahrati: Tradisi membangunkan sahur di Palestina

Tradisi membangunkan sahur dengan tetabuhan ini juga membudaya di Indonesia. Di Solo dikenal dengan nama klothekan. Di Semarang dekdukan. Di Jawa Timur tektekan. Di sepanjang Pantura jamak disebut komprekan.

Di Jawa Barat disebut ngoprek. Di Cirebon disebut obrok-burok. Masyarakat Betawi menyebutnya ngarak beduk atau beduk sahur.

Di Kalimantan Selatan disebut bagarakan sahur. Di Gorontalo disebut tumbilotohe. Dan banyak nama yang berbeda untuk daerah yang berbeda.

Tak hanya di Indonesia dan Palestine, negeri-negeri Muslim lainnya juga memiliki tradisi serupa. Di Turki tetabuhan yang digunakan adalah drum yang disebut davul.

Penabuhnya disebut davulcu. Pada masa Utsmani penabuh davulcu ini jumlahnya mencapai 2.000 orang!

photo
Davulcu, tradisi membangunkan sahur di Turki

Menariknya, sebagai bentuk penghargaan dan ucapan terima kasih sudah dibangunkan sahur, masyarakat memberikan uang yang disebut bahsis.

Di Maroko, tradisi ini disebut Nafar. Mereka berkeliling kampung membangunkan sahur dengan mengenakan pakaian tradisional yang disebut gandora, sandal, dan topi.

Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun sejak abad ke-7. Tak sembarangan orang bisa terpilih sebagai Nafar. Meraka harus melewati tes kejujuran dan diplih oleh masyarakat setempat.

photo
Nafar, tradisi meniup trompet membangunkan sahur di Maroko.

Di India juga ada tradisi serupa, meski tidak menggunakan alat musik atau tetabuhan. Mereka membangunkan sahur dengan menyenandungkan puji-pujian untuk Allah dan Rasulullah SAW.

Mereka disebut seheriwalas atau zohridaars. Ini merupakan bagian dari budaya Mughal sejak berabad lalu.

Secara filosofi tradisi ini menunjukkan indahnya ukuwah. Persaudaraan dalam Islam. Mereka saling membangunkan saudaranya supaya tidak terlambat sahur.

photo
Seheriwalas atau zohridaars tradisi membangunkan sahur  di India.

Mengapa saling membangunkan sahur itu penting? Karena seperti tersebut dalam hadis:

“Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).

Dan bagi saudara-saudara kita di Palestine, Misaharati adalah adalah setitik asa di antara duka!