Mengenal Tradisi Bi'ibih

Red: Agung Sasongko

Jumat 17 May 2019 17:00 WIB

Ilustrasi Ramadhan Foto: Reuters/Amr Abdallah Dalsh Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di wilayah Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, ada sebuah tradisi yang kerap dilakukan setiap tanggal 25 dan 27 Ramadhan, yakni saling antar nasi ke para tetangga. Tradisi yang dikenal dengan sebutan 'bi'ibih' ini dilakukan saat sore hari menjelang malam 25 dan 27 Ramadhan.

Namun, menurut Hapi Tedjo Pramono, tokoh masyarakat di Kecamatan Tenggarang, Bondowoso, tradisi 'bi'ibih' ini kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Muslim Bondowoso yang tinggal di perkotaan dan sekitarnya.

"Kalau di daerah pedesaan mungkin saja masih ada warga yang melestarikan tradisi itu untuk meramaikan tanggal-tanggal ganjil di bulan Ramadhan yang diyakini sebagai turunnya malam lailatul qadar atau malam seribu bulan," paparnya kepada kantor berita Antara, belum lama ini.

Mantan kasi Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso itu menjelaskan, nasi 'bi'ibih' diambil dari kata 'bi'ibih' yang merupakan waktu pergantian dari Ashar ke Maghrib. Karena nasi yang dibungkus daun dengan lauk seadanya itu diantar ke tetangga pada waktu 'bi'ibih' itu, disebutlah tradisi nasi 'bi'ibih'.

Biasanya nasi tersebut diberi lauk seadanya, termasuk serundeng yang terbuat dari kelapa diparut dan disangrai hingga kering berwarna cokelat dengan porsi sekepalan tangan orang dewasa. Biasanya setiap rumah membuat sekitar tujuh bungkus nasi dan saling diantar ke tetangga terdekat.

"Intinya adalah saling bersedekah pada 10 hari terakhir bulan suci Ramadhan. Tradisi itu dulunya dilestarikan secara turun temurun. Namun, seiring perjalanan waktu, masyarakat sudah meninggalkan tradisi tersebut," ujarnya.

Hapi mengemukakan, di daerah tempat tinggalnya di Kecamatan Tenggarang, tradisi 'bi'ibih' itu sudah tidak pernah diingat lagi oleh warga. Untuk memperbanyak amal ibadah sedekah, warga biasanya secara begiliran menyalurkan makanan ke masjid atau mushala yang menggelar acara tadarus setiap malam.

"Sebetulnya tradisi itu kalau dilestarikan bagus karena anak-anak biasanya senang makan nasi 'bi'ibih' itu. Kalau dilestarikan, anak-anak pasti senang dan tahu ada tradisi tersebut di daerahnya," tambah Hapi.

Mengenai bi'ibih, Hapi menjelaskan bahwa kata itu digunakan secara salah kaprah dan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi anak kecil karena para orang tua bisanya menjadikan senjata untuk menakut-nakuti anaknya kalau bermain di saat-saat menjelang Maghrib. "Biasanya orang tua mengancam anak-anak akan diculik oleh 'bi'ibih' kalau bermain di luar rumah saat menjelang Maghrib. 

Terpopuler