Puasa Ramadhan dan Kematangan Jiwa (2-Habis)

Red: Hasanul Rizqa

Kamis 16 May 2019 09:38 WIB

Puasa Ramadhan (ilustrasi) Puasa Ramadhan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof H.M. Hembing Wijayakusuma (1940-2011)

Orang yang benar-benar menjalankan ibadah puasa akan merasa ada yang membekas dalam dirinya setelah bulan Ramadhan berlalu. Selain itu, selepas puasa seharusnya setiap orang tetap mengamalkan dan meningkatkan intisari berpuasa, bukan kembali seperti sebelum puasa.

Baca Juga

Menurut ahli fikih dan ahli tafsir Wahbah az-Zuhaili dan Muhammad Ali as-Sabuni, salah satu hikmah puasa adalah pendidikan bagi jiwa dan membiasakan diri untuk sabar terhadap segala penderitaan dalam melaksanakan perintah Allah SWT.

Puasa mengajarkan kejujuran, kesabaran dan kedisiplinan, serta membantu menjernihkan pikiran. Puasa menjadi sarana pendidikan moral yang tinggi, dapat menimbulkan perangai yang luhur.

Puasa yang hanya menahan lapar, haus, dan keinginan syahwat tidak otomatis menjadikan manusia memiliki kesabaran, ketakwaan, dan kematangan jiwa. Puasa harus dipahami sebagai terapi psikologis.

Yang paling nyata dari terapi itu adalah pemahaman pada arti kesabaran.

Terpenting dalam berpuasa adalah niat ikhlas. Niat ini memiliki makna luas bagi orang yang menjalankannya. Dengan niat ikhlas, rohani manusia berserah diri akan apa yang terjadi selama dia berpuasa.

Ibadah, hidup matinya hanya untuk Allah SWT, tidak lain. Dalam keadaan jiwa yang tenang itu, sirnalah kecemasan, kekhawatiran, dan tekanan-tekanan batin menghadapi kemelut duniawi serta penyakit hati, seperti dengki, takabur, riya, dan sebagainya.

Kesiagaan rohani ini memiliki efek yang besar terhadap fungsi organ tubuh. Akan terjadi penyempurnaan fungsi fisiologis organ-organ tubuh, baik metabolisme enzim-enzim maupun metabolisme hormonal.

Niat ikhlas membuat kita saat berpuasa tidak merasa lapar dan haus, sebagaimana halnya kita menunda makan dan minum di luar bulan puasa. Mengapa demikian?

Karena kelenjar hipofise sebagai pengendali fungsi-fungsi hormon saat puasa justru dikendalikan oleh iman. Maka dari itu, saat puasa kita tidak tergiur melihat makanan dan minuman yang lezat-lezat.

Terapi puasa sebagai terapi psikologis akan melahirkan kematangan jiwa dalam mengarungi kehidupan. Selain itu, puasa akan membuahkan nuansa sehat, baik rohani dan jasmani, yang menjadi cermin dalam pengendalian diri manusia yang beriman.

Terpopuler