REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof H.M. Hembing Wijayakusuma (1940-2011)
Dr Ahmad al-Qadhi dari Lembaga Pendidikan dan Penelitian Kedokteran Islam di Panama City, Amerika Serikat, pernah meneliti orang yang melakukan puasa Ramadhan.
Target yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui tingkat performa fisik dan keletihan dari orang yang melakukan puasa.
Pendapat yang terbentuk selama ini di kalangan umat ialah, performa fisik orang yang berpuasa cenderung menurun dalam bulan puasa. Atau, orang yang berpuasa sering memperlihatkan tanda-tanda keletihan.
Berdasarkan asumsi ini, awalnya mereka mengira tingkat produksi orang-orang yang berpuasa cenderung menurun.
Dalam penelitian ini, Dr al-Qadhi menggunakan ban berjalan yang dilengkapi dengan alat-alat canggih untuk mencatat performa otot, jantung, tekanan darah, detak jantung, dan lain-lain. Para relawan diminta berlari di atas alat tersebut dalam waktu yang telah ditentukan. Ia menguji sejumlah volunter beberapa kali, baik sebelum puasa, dalam keadaan berpuasa, maupun selepas berpuasa Ramadhan.
Hasil yang dicapai, ternyata adalah kebalikan dari asumsi selama ini. Tak benar bahwa puasa mengurangi produktivitas. Dr al-Qadhi menemukan, secara umum performa otot dan fisik ternyata lebih baik dalam bulan puasa. Sebagiannya mencapai lebih dua kali lipat dari performa pada hari-hari biasa tidak berpuasa.
Ditemukan juga bahwa tingkat keletihan rata-rata rendah di kalangan orang yang berpuasa. Salah satu penyebabnya adalah tersimpan flaucous dalam darah, yang merupakan sumber energi dari dalam tubuh manusia. Keadaan berpuasa itu melahirkan energi khusus sehingga dapat menghemat energi yang bersumber dari glaucous.
Umumnya masyarakat lalai memahami, ada tuntutan rohani yang muncul dari ibadah puasa. Di antaranya, menekankan pada kesanggupan manusia untuk mengendalikan segi psikis atau hawa nafsu.
Dalam berpuasa, umat Islam tidak sekadar melatih fungsi-fungsi biologis, tapi justru mengasah kemampuan psikologis. Puasa Ramadhan sendiri berarti, ibadah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Hanya saja, selama ini penggalian nilai-nilai psikologis dari ibadah itu harus lebih terasa.
(Bersambung)