Hukum Puasa Ramadhan bagi Pekerja Berat, Seperti Apa?

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Hasanul Rizqa

Senin 13 May 2019 17:14 WIB

Dua pekerja memperbaiki instalasi listrik (ilustrasi). Foto: Antara/Oky Lukmansyah Dua pekerja memperbaiki instalasi listrik (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap Muslim yang telah memenuhi syarat wajib menjalankan puasa Ramadhan. Namun, bagaimana dengan seorang pekerja berat yang tidak bisa meninggalkan profesinya?

Menjawab hal itu, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Yunahar Ilyas memberikan penjelasan. Menurut dia, hukum berpuasa bagi para pekerja berat sudah tercantum di dalam kitab suci Alquran. Bagi seorang pekerja berat yang tidak bisa berpuasa Ramadhan, maka wajib mengganti puasanya itu pada hari di luar Ramadhan.

Baca Juga

“Hukumnya boleh atau rukhsah. Artinya, dia tetap (wajib) puasa. Kalau kuat (berpuasa), bagus, tapi kalau enggak, ya diizinkan (mengganti di hari lain Ramadhan --Red),” kata Yunahar kepada Republika, Senin (13/5).

Apabila seorang pekerja berat tak bisa mengganti puasanya pada hari lain di luar Ramadhan, maka dia wajib membayar fidiah. Terkait ini, Yunahar mengutip uraian Syekh Muhammad Abdul.

Sang syekh memberi contoh pekerja berat, yakni buruh yang bekerja di tambang. Bila sang buruh tidak bisa mengganti puasa selama sebulan di hari-hari lain luar Ramadhan, maka dia boleh membayar fidiah. Untuk mengganti satu hari puasa, maka dia mesti memberi makan orang miskin satu hari porsi makan.

“Membayar fidiah sehari sekali bisa, sekali seminggu, atau sekali sebulan. Yang penting, satu hari puasa memberi makan satu orang miskin satu hari makan,” papar Yunahar.

Ulama kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat, itu menyebut tidak ada kriteria pekerjaan berat yang diperbolehkan mengganti hanya dengan membayar fidiah. "Seorang Muslim harus jujur dengan kemampuannya masing-masing menjalankan ibadah puasa. Dinilai sendiri saja, tergantung kejujuran saja.Kan dia sendiri yang lebih tahu, berat atau tidak,” tutup Waketum MUI Pusat itu.