Ramadhan dan Bubur: Filosofi Dakwah Yang Lembut

Red: Muhammad Subarkah

Ahad 12 May 2019 16:07 WIB

Pembagian bubur di Masjid Darusalam Solo Foto: timlo.net Pembagian bubur di Masjid Darusalam Solo

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

Rasanya lembut di mulut. Berwarna putih dengan semburat kekuningan. Terjejak aroma jintan, kapulaga, dan berbagai rempah lainnya. Hangat sampai ke perut. Saya ambil sesuap lagi. Alhamdulillah. Nikmat sekali.

Masyarakat Solo menyebutnya bubur Banjar atau ada juga yang menyebutnya bubur samin. Entah apa nama sebenarnya. Bubur ini dibagikan di Masjid Darussalam, Solo. Sebagai informasi, di lingkungan sekitar masjid ini memang tinggal komunitas orang-orang Banjar di Solo.

Menikmati kelezatan bubur ini adalah momen langka buat saya. Karena biasanya saya mudik sudah sangat mepet Lebaran. Dan bubur ini di H-1 sudah tidak dibagikan lagi.

Awalnya bubur hanya dibagikan bagi jamaah yang berbuka puasa di masjid saja. Namun, sejak tahun 1985, bubur mulai dibagikan pada masyarakat umum. Setiap hari di bulan Ramadhan. Menjelang waktu berbuka.

Dari semula hanya memasak 15 kg beras, kini menjadi 50 kg beras yang diolah dengan berbagai rempah hingga menjadi bubur yang lezat.

Tradisi membagikan bubur di bulan Ramadhan, tidak hanya dilakukan masjid ini saja. Di banyak masjid di berbagai daerah di Indonesia juga mempunyai kebiasaan yang sama.

photo
Salah satu wadah dan perangkat untuk membagikan bubur di Timur Tengah.

Sebutlah Masjid Suro di Palembang, yang membagikan bubur syuro. Tak kurang 7 kg beras diolah dengan daging dan aneka rempah untuk dibagikan pada masyarakat.

Di Masjid Islamic Center Lhokseumawe, Aceh, disajikan bubur kanji rumba. Bubur ini terbuat dari beras, wortel, daun sop, daging atau udang, dan aneka rempah.

Di Masjid Raya Medan, dibagikan bubur sop Melayu. Yang diolah dari beras, kentang, wortel, aneka rempah dan santan. Di Masjid Jami Pekojan, Semarang, disajikan bubur India. Ini hanya nomenklatur alias penamaannya saja. Bukan bubur yang didatangkan dari India atau masakan khas India. Buburnya diolah dari beras dan aneka rempah khas India, seperti jahe, bawang, kapulaga, cengkeh, kayu manis, pandan, serai, dan sebagainya.

Kuliner lokal juga ada yang dihadirkan dalam tradisi bubur yang dibagikan di bulan Ramadhan. Salah satunya adalah bubur lodeh di Masjid Sabiilurrosya'ad, Bantul. Konon tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak masjid didirikan pada 1570.

Tak hanya di Indonesia, tradisi membuat bubur untuk berbuka puasa ini juga ada berbagai belahan dunia.  Saat umrah Ramadhan, salah satu menu bubur yang dihadirkan di restoran hotel adalah ful medammis atau biasa disebut ful. Kuliner ini berasal dari Mesir.

photo
Bubur Medammis

Biasanya diletakkan di salah satu sudut meja saji dalam wadah panci tembaga berleher tinggi. Condiment alias pelengkapnya adalah minyak zaitun, saus, dan yoghurt. Ful berwarna cokelat kemerahan dengan genangan minyak zaitun atau minyak jagung di bagian atasnya.

Bubur atau sup kental ini tidak terbuat dari beras, melainkan dari kacang-kacangan yang disebut fava beans. Rasanya gurih.

Masakan ini sangat populer di Mesir sebagai menu sarapan. Sewaktu melakukan perjalanan ke Mesir, saya selalu menemukan menu ini di berbagai restoran.

Lambang suka. Tapi saya tidak. Karena saya tidak menyukai tekstur makanan yang setengah kasar. Alias masih ada buliran-buliran bahannya yang terasa “krenyil-krenyil”, kalau orang Jawa bilang.

Kacang Fava (saya tidak menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia) diolah dengan bawang, peterseli, minyak zaitun, minyak jagung dan susu. Dimasak hingga lunak menyerupai bubur kasar.

Ful medammis bisa dimakan begitu saja, atau bisa juga dinikmati dengan aisy. Aisy adalah roti pipih yang menjadi makanan pokok orang Mesir dan sekitarnya. Masakan ini juga populer di beberapa negara di Timur Tengah, Afrika, dan sepanjang Mediterania. Seperti Somalia, Djibouti, Eritrea, Sudan, Suriah, Ethiopia, dan di Arab Saudi.

photo
Bubur Harees

Namun sebenarnya, kalau di Saudi bubur yang paling populer di bulan Ramadhan disebut harees. Bubur harees ini disajikan tak hanya waktu berbuka, tapi juga saat sahur. Harees terbuat dari gandum dan cacahan daging domba atau ayam yang diolah dengan aneka rempah. Sama seperti mengolah bubur beras, mengolah bubur gandum ini juga membutuhkan waktu yang lama. Kurang lebih 4 jam, hingga bubur mengental dan semua bahan terpadu sempurna.

Catatan tentang resep harees ini ditemukan dalam kitab al Tabikh karangan Ibn Sayaar Al Warraq yang diterbitkan pada abad ke-10. Konon, harees merupakan salah satu hidangan berbuka puasa yang disukai Rasulullah SAW.

Mengapa banyak masjid mempunyai tradisi menghidangkan bubur untuk berbuka puasa? Selain alasan praktis, karena termasuk one dish meal. Juga hasil jadinya lebih banyak. Semisal 50 kg beras yang diolah menjadi bubur bisa menghasilkan seribuan porsi.

Namun, di balik itu ada filosofi yang lebih mendalam. Tekstur bubur yang lembut sejalan dengan prinsip dakwah Islam yang lembut. Bubur juga bermakna melebur. Menggambarkan seperti itulah seharusnya nilai-nilai kebaikan yang terinternalisasi dalam diri setiap Muslim.

Sejarah mencatat, tradisi membagikan ta’jil bubur di masjid menjadi bagian dari syi’ar di bulan Ramadhan.

Mau masak bubur untuk buka puasa hari ini?

Jakarta, 12/5/2019

Terpopuler