REPUBLIKA.CO.ID, Masyarakat Indonesia terutama di Jawa Timur (Jatim) tentu tak asing lagi dengan kuliner tradisional, pecel Madiun. Kuliner khas Madiun ini tidak hanya bisa ditemukan di kota asalnya, tapi juga beberapa daerah lainnya seperti Kota Malang.
Tepat di Jalan Tombro, terdapat satu kedai sederhana bernama Petjel Van Madioen. Lokasinya berjejer dengan berbagai macam kedai kopi dan ayam geprek, serta makanan lainnya. Area tersebut memang lebih dikenal sebagai "tempat nongkrongnya anak muda" Kota Malang.
Pecel Madiun (Foto: Wilda Fizriyani/Republika)
Pemilik Kedai, Andhika Yudha Pratama menerangkan, jadwal menikmati pecel Madiun di kota asalnya tidak berpatokan pada waktu. Warga bisa menikmati sajian 'salad sayur khas Indonesia' ini di waktu pagi, siang, bahkan malam hari. "Kalau di Malang, cuman untuk sarapan pagi," ujar Andhika saat ditemui Republika.co.id, belum lama ini.
Dari sisi penjualan, Andhika menerangkan, warung-warung pecel di Madiun lebih banyak memanfaatkan waktu di malam hari. Hal ini tak lepas dari penyesuaian jadwal tutup toko-toko di pinggiran jalan. Meski demikian, ia tak menampik, ada segelintir warung yang lebih suka membuka usahanya di pagi hari.
Menelisik dari hal tersebut, Andhika mencoba membuka usaha kuliner pecel Madiun dari sore sampai malam hari. Dia sengaja tidak memanfaatkan waktu pagi agar sedikit berbeda. Warga Kota Malang perlu tahu bagaimana menyicipi pecel di malam hari.
"Kita juga memanfaatkan lokasi juga, di sini banyak yang bukanya sore sampai malam," tambah pria berusia 26 tahun ini.
Pada aspek bahan, Andhika mengungkapkan, terdapat banyak perbedaan dengan pecel di Malang pada umumnya. Sajian sayurnya terdiri dari daun kenikir, daun singkong, kembang turi dan timun krai. Timun krai di sini ukurannya lebih kecil. Lalu teksturnya lebih lembek dan memiliki rasa layaknya labu saat direbus.
Pecel Madiun juga memasukkan bahan pete Cina, toge, kemangi dan kacang panjang. Tak lupa juga memadukan dengan serundeng kelapa yang sebelumnya dimasak bersamaan dengan daging sapi dendeng ragi. "Kelapanya untuk ini (pecel-red), daging sapi nggak dipakai. Kalau mau tambah (daging--red) boleh, tapi yang wajib ada itu serundeng," jelas pria lulusan Universitas Negeri Malang (UM) ini.
Selain itu, Andhika juga mencampur pecel dengan tempe orek kering dan sedikit nasi. Sebenarnya terdapat bahan bayam, tapi dia menolak untuk memasukannya. Berdasarkan pertimbangan waktu, bayam dikenal akan beracun jika sudah melewati tiga jam. "Terus ada rempeyek kacang dan ada daun jeruk purut," jelasnya.
Dari segi bumbu, Andhika menyatakan, pecel Madiun memiliki perbedaan khusus. Bumbunya tidak menggunakan kencur tapi lebih menonjolkan daun jeruk.
Lebih detail, bahannya terdiri dari kacang tanah sangrai, cabai, gula merah, jeruk purut dan garam. "Khasnya memang menonjolkan daun jeruk purut. Kalau Malang, ada kencurnya. Ini sebenarnya kelaziman saja, selera (daerah masing-masing--Red)," tambah dia.
Dari segi penglihatan, tekstur sambal pecel berbahan kencur biasanya lebih encer. Gambaran ini berbeda jauh dengan sambal pecel Madiun yang agak kental. Warnanya juga lebih gelap karena pengaruh dari bahan gula merah.
Untuk melengkapi kelezatan, Andhika juga menyajikan, bahan pelengkap lainnya. Umumnya, biasa dilengkapi dengan tempe mendoan khas Madiun, bakwan jagung dan rempeyek. Lalu adapula ayam goreng, paru, babat, sate usus dan telur puyuh serta kerupuk puli (beras--Red).
Di sisi lain, Andhika juga mengungkapkan, satu penyajian khas dari pecel Madiun. Antara lain pemanfaatan alas makanan berbahan anyaman bambu, atau lebih dikenal pincuk. Lalu ditambah dengan selembar daun pisang di atas alas tersebut.
Pecel Madiun (Foto: Wilda Fizriyani/Republika)
Menurut Andhika, sangat jarang menemukan pecel menggunakan pincuk di Kota Malang. Salah satu alasannya kemungkinan karena harga yang relatif mahal. "Dan kalau di Madiun memang tidak pakai piring, biasanya pakai daun pisang sama tusuk lidi," jelasnya.
Dari segi harga, Andhika mematok harga pecel sebesar Rp 6.000 per porsi. Sementara menu tambahan seperti gorengan tempe dan bakwan dihargai Rp 1.000, sate usus dan telur puyuh Rp 3.000, serta paru dan babat Rp 7.000. Selanjutnya, ayam goreng Rp 6.000, serta telur dan sosis goreng Rp 2.000.
Untuk dapat menikmati pecel ini, kedai dibuka mulai dari pukul 16.00 WIB hingga sahur. Sementara di luar Ramadhan, hanya beroperasi sampai pukul 24.00 WIB.
Pembeli Arifin mengaku cukup menyukai kuliner tradisional, pecel. Tak hanya yang khas dari Madiun, tapi juga daerah lainya seperti Malang, Nganjuk dan sebagainya. Selain lezat, kuliner tersebut juga sehat karena berbahan sayuran.
Di antara berbagai jenis pecel, Arifin lebih menyukai pecel beralas daun jati. Selain lebih manis, daun jati bisa memberi efek warna merah pada nasi pecel.