REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agenda politik nasional tahun 2019 ini tidak hanya menyita perhatian publik, tetapi tidak sedikit juga menyebabkan ketegangan dan keterbelahan masyarakat. Akibatnya masyarakat menjadi gampang mengumbar emosi, kebencian, makian dan permusuhan akibat ketidakcerdasan dalam menangkap informasi yang provokatif dan menyesatkan.
Memasuki bulan suci Ramadhan ini kondisi tersebut semestinya harus disudahi. Bulan Ramadhan bukan sekedar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari emosi, kebencian dan perpecahan. Karena Ramadhan yang diperingati oleh seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia menjadi momentum terbaik bagi umat Islam membangun persaudaraan dan perdamaian.
Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI Jakarta, Prof Ahmad Syafii Mufid meminta kepada masyarakat pada umumnya dan masyarakat Muslim pada khususnya di Indonesia agar menjadikan bulan Ramadhan itu sebagai sarana untuk penyucian jiwa maupun penyucian pikiran dengan membuka, membaca, merenungkan dan memaknai kitab suci Alquran. Ini sebagai upaya untuk menyegarkan pikiran dalam membangun persaudaraan dan perdamaian di tengah masyarakat.
“Bulan Ramadhan ini tentunya harus kita gunakan sebagai wadah untuk penyucian pikiran agar pikirannya itu menjadi pikiran yang sehat dan pikiran yang bertanggung jawab. Dengan merenungkan dan memaknai Alquran itu mudah-mudahan bisa menjadi petunjuk mengenai apa yang harus kita lakukan dalam kondisi bangsa semacam ini. Karena hidup ini adalah sebuah ujian untuk kita agar bisa beramal dan berbuat yang baik untuk negara dan bangsa ini,” ujar Prof Ahmad Syafii Mufid, Selasa (7/5).
Lebih lanjut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment (INSEP) ini mengatakan, dengan perbuatan yang baik itulah yang nantinya menjadi bekal kita semua sebagai manusia untuk kembali kepada Allah SWT.
“Kalau kita tidak memikirkan itu, tentunya kita nanti yang akan rugi. Sekarang ini kita muda, sebentar lagi menjadi tua, setelah tua kita meninggal. Nah kalau meninggal apa yang kita bawa kalau bukan amal perbuatan kita selama di dunia. Kalau tidak ada yang kita bawa maka kita nanti akan menyesal. Itu dari sisi kegaiban,” ujar peraih Doktoral dari International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Leiden, Belanda ini.