REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Warga jalan Ki Gede Ing Suro Kota Palembang, Sumatra Selatan memiliki tradisi khas tiap datangnya Bulan Ramadhan, yakni membuat bubur suro. Pantauan Antara, Selasa, puluhan warga langsung menyerbu bubur suro tak lama setelah adonan matang dan diangkat oleh para peracik.
"Pekan pertama puasa warga sudah menyerbu, mungkin sudah banyak yang rindu karena bubur ini hanya ada pada dua momen, pertama saat hari Asyuro dan kedua bulan puasa," kata seorang peracik bubur suro, Artibi.
Artibi yang sudah 26 tahun memasak bubur suro mengungkapkan, bubur tersebut diberi nama bubur suro karena dibuat dan diracik pertama kali oleh salah satu pendiri Masjid Al - Mahmudiyah atau Masjid Suro. Masjid tersebut termasuk bangunan bersejarah Kota Palembang yang terletak di Jalan Ki Gede Ing Suro kelurahan 30 Ilir dan diperkirakan telah berusia dua ratus tahun.
Tradisi bubur tersebut diyakini telah ada sejak 100 tahun lalu. Menurut Artibi, untuk membuat bubur suro dibutuhkan lima kilogram beras dan 20 liter air bersih untuk 100 piring porsi bubur serta berbagai rempah yang menjadi bumbu utama dalam proses pembuatannya.
"Bumbunya antara lain bawang putih, bawang merah, ketumbar, merica, garam, kecap, bumbu sop, dan minyak masak," jelasnya.
Untuk memasak bubur suro, menurut Artibi, pertama-tama beras dicuci terlebih dahulu lalu dimasak dan diaduk selama kurang lebih tiga jam tanpa henti. Setelah itu, racikan bumbu yang sudah ditumis sebelumnya dimasukkan ke dalam adonan beras lalu diaduk lagi hingga mengeluarkan aroma khas.
"Kalau aroma sudah ke luar, masukkan satu kilogram daging sapi yang dipotong kecil-kecil untuk menambah lezat sajian bubur waktu disantap," kata Artibi.
Menjelang matangnya bubur, biasanya banyak warga sekitar masjid antre demi mendapatkan bubur. Namun, pengurus masjid hanya memberi sebagian saja karena sebagian lain untuk menu berbuka puasa jamaah masjid.
"Bubur suro hanya ada pada momen tertentu saja seperti saat bulan Ramadhan dan lebaran anak yatim (Asyuro), yakni tanggal 10 Muharram, secara adat tidak boleh ada yang menjualnya secara bebas karena kuliner tersebut sudah termasuk warisan," jelas Artibi.