Ketika Ramadhan Terasa Begitu Singkat di Liverpool Inggris

Red: Muhammad Subarkah

Kamis 09 May 2019 03:01 WIB

Masjid Abdullah Quilliam, LIverpool Foto: .rateyourmosque.com Masjid Abdullah Quilliam, LIverpool

Oleh Savitry Khairunnisa, Muslim Indonesia pernah tinggal di Inggris dan kini di Norwegia)

Saya terkenang masa 17 tahun silam. Ramadhan pertama saya jauh dari tanah air. Ramadhan yang begitu personal, sarat makna dan mengubah arah kehidupan saya selanjutnya. Ramadhan di mana muslim adalah minoritas, tapi justru membuat ibadah puasa menjadi semakin khusyuk.

Liverpool, Kerajaan Inggris Raya, bulan September tahun 2001. Saya bersama adik datang ke kota kelahiran The Beatles untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di The University of Liverpool. Waktu itu Ramadhan jatuh di bulan November. Kota yang berangin ini jadi membeku karena akan memasuki musim dingin.

Saya bersyukur karena diberi kesempatan menjalankan puasa pertama di negeri orang ketika durasinya begitu singkat. Puasa di Inggris di musim dingin rata-rata hanya 7 - 8 saja setiap hari. Istilahnya, belum lagi kita merasa lapar, tapi sudah waktunya berbuka. Saya merasa Allah Maha Baik. Puasa perdana yang jauh dari keluarga dan kemeriahan tanah air sama sekali tidak terasa berat. Alhamdulillah.

Puasa di masa itu memang terasa singkat. Sebagian waktu saya isi dengan kegiatan perkuliahan yang padat. Di antara jadwal kuliah, seminar, paper, dan presentasi, saya banyak mengisi Ramadhan dengan tadarrus dan memasak di flat yang dihuni mahasiswa berbagai negara.

Flat kami yang bernama Hardman House ini letaknya di pusat kota Liverpool. Ketika siang cukup hening karena sebagian besar warganya sibuk di kampus. Menjelang malam suasana jadi ingar-bingar dengan kehidupan malam di pub dan klub malam yang memang menjadi tradisi orang Inggris.

Menjelang subuh lain lagi. Di tengah suasana sahur dan salat subuh, selalu terdengar suara botol minuman keras yang dituangkan dari tempat sampah di belakang pub ke truk pengangkut sampah. Sungguh ritme hidup yang kontras. Saya tak akan pernah melupakannya. Karena suasana seperti itu mungkin tak akan saya alami lagi. Setidaknya hingga saat ini.

Tujuh belas tahun lalu ghirah Islam di Inggris belum sekuat sekarang. Jumlah muslim pun belum terlalu banyak. Apalagi muslim Indonesia di Liverpool, yang kala itu masih bisa dihitung dengan jari. Tapi jumlah yang sedikit itu tidak menyurutkan semangat kami untuk berkumpul dengan sesama warga Indonesia atau sesama muslim dari mancanegara.

Kegiatan berbuka bersama yang disambung dengan shalat Maghrib, Isyak, dan tarawih berjamaah, sungguh terasa syahdu. Ketika kita berada jauh dari kampung halaman, ikatan persaudaraan itu akan terasa semakin erat.

Semua kebersamaan itu biasa kami adakan secara bergantian dari rumah ke rumah, atau di Abdullah Quilliam Mosque. Masjid yang berlokasi di 8 Brougham Terrace, Liverpool, ini adalah masjid tertua di Inggris, yang telah berdiri sejak 1889.

Pendirinya adalah Abdullah Quilliam, orang Inggris asli yang menjadi muallaf sekembalinya dari Maroko pada 1887. Sejak saat itu masjid yang dinamakannya The Liverpool Muslim Institute ini terus menjalankan dakwah Islam di Liverpool dan Inggris secara umum.

Hingga saat ini, masjid yang telah beberapa kali mengalami restorasi ini semakin mengukuhkan posisinya sebagai pusat dakwah Islam dengan reputasi terhormat. Saya bersyukur pernah jadi bagian dari komunitas ini.

Beberapa bulan pertama di Liverpool membawa pengaruh yang cukup signifikan pada diri saya. Pergaulan yang cukup intens dengan sesama perantau Indonesia dan juga kaum Muslim dengan latar belakang budaya berbeda, membuka wawasan saya untuk menjalankan Islam secara lebih kaffah. Masa-masa hening saat mengaji ayat-ayat Allah menyentak kesadaran saya untuk lebih taat pada perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Diskusi-diskusi panjang saya dengan teman-teman sesama mahasiswa dari negara muslim meninggalkan bekas di benak. “Saya kira semua muslimah Indonesia pasti berjilbab?” begitu tanya seorang teman asal Iran.

Allah memang Maha Membolak-balikkan Hati. Dia juga yang berkuasa memberi hidayah kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Di akhir Ramadhan itu, hati saya seketika mantap untuk berhijrah. Saya bersegera menjalankan perintah Allah untuk menutup aurat. Ramadhan 2001 di Liverpool menjadi satu milestone di kehidupan saya sebagai muslimah.

Ramadhan yang begitu singkat tapi sanggup mengukuhkan identitas saya sebagai seorang muslimah. Identitas yang alhamdulillah masih saya pertahankan ke manapun saya pergi, hingga sekarang saya dan keluarga tinggal di Norwegia.

“Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS al-Ahzab 33:59]

Wallahu a'lam bishshawwab.